Jokowi Bolehkan Wacana 3 Periode, HNW: Tak Sesuai Konstitusi, Fokus Pilpres 2024

FacebookWhatsAppXShare

KABARKALIMANTAN1, Jakarta – Merespons suara Projo (Pro-Jokowi) di Gedung Youth Center, Arcamanik, Bandung, Minggu (28/8/2022), Presiden Joko Widodo, membolehkan wacana presiden 3 periode bergulir.

Reaksi keras datang dari politisi senior, Hidayat Nur Wahid dan Amien Rais, lalu Robertus Robet aktivis HAM dari Universitas Negeri Jakarta, juga mahasiswa.

“Itu kan musyawarah rakyat atau Musra, forumnya rakyat. Boleh kan rakyat bersuara,” kata Jokowi di hadapan para pendukungnya. “Ini bagian dari kehidupan berdemokrasi. Boleh saja orang berpendapat. Ngomong ganti presiden, juga boleh. Ya enggak?”

Dalam forum ini, Jokowi juga kembali menerima dukungan dari para pendukungnya untuk maju lagi sebagai orang nomor 1 lewat Pilpres 2024. Musra digelar oleh 17 kelompok relawan Jokowi, dilaksanakan di 34 provinsi pada rentang waktu 28 Agustus 2022 hingga 11 Maret 2023.

“Relawan mau lanjut, Pak. Tapi konstitusi gimana? Kayaknya Musra sudah berakhir dengan kesimpulan: lanjutkan!” kata Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, Minggu (28/8). “Rakyat mengharapkan Bapak. Jokowi lagi! Jokowi lagi!” imbuh Jeni, salah satu anggota Projo yang diberi hadiah Jokowi sebuah jaket G-20.

Sejumlah elite politik seperti Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, sering mewacanakan penundaan Pemilu dan/atau presiden 3 periode.

Luhut sempat membantah, tapi redaksi mencatat, ia pernah mengklaim punya big data 110 juta rakyat menginginkan penundaan pemilu dan/atau presiden 3 periode. Pada 15 Maret 2022 dalam wawancara di sebuah akun Youtube, Luhut bilang. “Soal buka big data 110 juta rakyat, ya janganlah. Buat apa dibuka?”

Atas ocehan Luhut tersebut, saat itu dukungan “Jokowi 3 periode” datang bergelombang dari menteri dengan latar belakang ketua umum partai politik, seperti Airlangga Hartarto (Golkar), Muhaimin Iskandar (PKB), dan Zulkifli Hasan (PAN).

Jokowi sendiri berulang kali menolak wacana itu. Begitu pula putranya yang juga menjabat Walikota Solo, Gibran Rakabuming. “Aku ikut Bapak, enggak ngotot 3 periode,” katanya waktu itu.

Apakah pandangannya juga berubah seperti sang bapak yang kini membolehkan wacara presiden 3 periode? Entahlah, yang pasti sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet, mengkritik wacana itu terus digaungkan.

Mirip Orde Baru

“Mobilisasi dukungan 3 periode, itu gejala ke arah otoritarianisme, menggunakan topeng demokrasi. Mirip dengan yang terjadi di masa Orde Baru,” kata Robet yang juga seorang aktivis hak asasi manusia (HAM) itu.

“Di masa Orde Baru, fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Golkar, serta sejumlah menteri mengklaim Soeharto masih didukung rakyat untuk terus berkuasa. Ya mengulang praktik kebulatan tekad Orde Baru, sebagai justifikasi Suharto memperpanjang kekuasaan. Saat itu di dalam UUD 1945 tak tercantum pembatasan masa jabatan presiden seperti saat ini.”

Terkait contoh Projo yang menyebut PM Jerman, Andrea Merkel, bisa berkuasa 16 tahun, Wakil Ketua MPR dari PKS, Hidayat Nur Wahid lewat Twitter bilang, “Di sana konstitusinya memungkinkan. Konstitusi di NKRI dibatasi 2 maksimal periode. Projo fokus saja mensukseskan Pilpres 2024.”

Di kalangan lembaga survei, seperti Populi dan INSIS, menghasilkan kesimpulan serupa: Mayoritas publik menolak wacana presiden 3 periode dan penundaan Pemilu. Survei dilakukan di wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat.

“Kalau wacana ini terus digulirkan para elit politik, baik presiden dan menteri, sepertinya kami akan meminta Badan Eskutif Mahasiswa kembali menggelar demo yang lebih keras dibanding aksi BEM seluruh Indonesia di Jakarta, awal April 2022. Semalam sudah kontak-kontakan dengan kawan-kawan dari Jakarta dan Bandung,” ujar Adi xxxxxxx, mahasiswa Universitas Pamulang yang rajin ikut demo di DPR.

“Ah, isu itu cuma mau mengalihkan perhatian masyarakat terkait kenaikan harga BBM. Rasanya presiden takkan berani ambil risiko, Eskalasi kekecewaan pada 2 tahun terakhir masa jabatan presiden makin tinggi, rawan mencapai titik kulminasi. Masa mau ulang kesalahan Pak Harto?” komentar Amarno, pengamat politik dari UIN Hidayatullah, Jakarta, melalui telepon Senin (29/8) pagi.

FacebookWhatsAppXShare

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *