KABARKALIMANTAN1, Jakarta – Tekanan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) kian kuat. Besok atau Kamis (15/6/2023), MK akan membacakan putusan sistem pemilu. Selain puluhan tokoh nasional yang mengirimi MK sebuah amicus curiae berisi opini dan pandangan atas suatu kasus, DPR pun hadir.
Habiburokhman, bertindak selaku Kuasa Hukum DPR, memastikan hadir di sidang pembacaan putusan uji materi Pasal 168 UU Pemilu. Pasal itu mengatur soal sistem proporsional terbuka (coblos caleg). Jika MK mengabulkan gugatan, maka sistem pemilu akan berubah jadi sistem proporsional tertutup (coblos partai).
“Kami akan hadir, dalam posisi sebagai kuasa DPR di MK. Bukan kuasa hukum 8 atau 9 fraksi, tapi saya mewakili DPR. Kami akan hadir,” ucap Habib di kompleks parlemen, Senin (12/6/2023).
Politikus Partai Gerindra itu berharap pernyataan Denny Indrayana tak benar soal MK bakal mengubah sistem pemilu menjadi tertutup. Dia meyakini sistem pemilu di 2024 masih akan menggunakan sistem proporsional terbuka.
Apalagi, DPR dalam sidang juga telah menyatakan sikap jelas soal itu bahwa persoalan sistem pemilu harus bersifat open legal policy harus dibahas lewat parlemen. Bukan saja DPR, pemerintah melalui Kemendagri dan Kemenkumham juga telah menyatakan agar sistem pemilu tak berubah.
“Ini salah satu dua perkara yang rekor pihak terkaitnya paling banyak, dan semuanya jelas menyampaikan ingin mempertahankan sistem proporsional terbuka,” ucap Habib. “Kalau kemarin kan hanya zoom, besok saya dan kawan-kawan akan hadir langsung ke gedung MK pada sidang pembacaan putusan tersebut.”
Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan jadwal sidang telah dikirim kepada pemerintah, DPR, dan pihak terkait dalam gugatan tersebut.
“Para pihak pemerintah, DPR, pihak terkait, semuanya dikasih surat panggilan untuk hadir sidang. Hari ini, untuk perkara 114 itu sudah diagendakan nanti pengucapan putusan hari Kamis tanggal 15 Juni, jam 9.30 WIB di Ruang Sidang Pleno bersama dengan beberapa putusan yang lain,” ujar Fajar saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Senin (12/6).
Sistem pemilu proporsional terbuka yang diatur di UU Pemilu digugat ke MK oleh sejumlah orang, di antaranya datang dari partai politik. Mereka adalah Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.
Mereka meminta MK mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Jika MK mengabulkan permohonan ini, maka masyarakat Indonesia hanya mencoblos partai politik, bukan nama-nama calon anggota legislatif (caleg) di surat suara pada Pemilu 2024.
Segelintir Caleg Parpol nomor atas, tak terganggu jika MK memenangkan penggugat. Namun mayoritas Caleg di nomor tengah dan bawah, merasa dirugikan. Biaya, waktu, dan tenaga untuk “mengenalkan diri” ke masyarakat, akan sia-sia. Masyarakat pun “dipaksa” menerima Caleg pilihan parpol.
Tekanan Lain
Sebelumnya, puluhan tokoh nasional dari berbagai kalangan menyampaikan amicus curiae kepada MK. Amicus ini disampaikan jelang putusan mengenai sistem pemilu proporsional terbuka.
Amicus curiae biasa juga dikenal dengan sahabat pengadilan, merupakan konsep hukum yang memungkinkan pihak ketiga di luar perkara dan merasa berkepentingan untuk berpartisipasi tanpa menjadi pihak berperkara. Amicus berisi opini dan pandangan atas suatu kasus yang sedang berlangsung.
Dalam amicus curiae ini, para tokoh nasional menyebut bahwa lebih dari 80 persen masyarakat Indonesia setuju dengan sistem proporsional terbuka.
Bahkan, mayoritas massa pemilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang merupakan partai pendukung proporsional tertutup, juga mendukung sistem proporsional terbuka dengan tingkat dukungan hingga 73 persen!
Persentase itu diperoleh dari hasil survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia dan Saiful Mujani Research & Consulting yang dilakukan pada bulan Mei 2023.
“MK pernah memutus perkara Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang menyatakan sistem proporsional terbuka sesuai dengan UUD 1945. Bahkan, MK menilai bahwa peran partai politik dalam proses rekrutmen telah selesai dengan ditentukannya calon yang didaftarkan. MK menilai keterpilihan calon anggota legislatif tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat,” ungkap Feri Amsari, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas (9/6).
Mereka meminta Majelis Hakim Konstitusi mempertahankan sistem proporsional terbuka dengan menolak permohonan para pemohon Perkara 114/PUU-XX/2022.
Sejumlah nama yang turut mengajukan amicus curiae:
1. Adnan Topan Husodo (Koordinator Indonesia Corruption Watch)
2. Amir Syamsuddin (Menteri Hukum dan HAM tahun 2011-2014)
3. Bambang Soetono (Dewan Yayasan Shalahuddin Budi Mulia Yogyakarta)
4. Bambang Widjojanto (Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi)
5. Bivitri Susanti (Pengajar STHI Jentera)
6. Busyro Muqoddas (Advokat)
7. Dadang Tri Sasongko (Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia 2013-2020)
8. Denny Indrayana (Wakil Menteri Hukum dan HAM tahun 2011-2014)
9. Din Syamsuddin (Chairman of Centre for Dialogue and Cooperation Among Civilization)
10. Emerson Yuntho (Advokat)
11. Faisal Basri (Ekonom Senior)
12. Feri Amsari (Dosen Fakultas Hukum Univ. Andalas)
13. Haris Azhar (Dosen HAM STHI Jentera)
14. Iwan Satriawan (Advokat dan Dosen FH Univ. Muhammadiyah Yogyakarta)
15. M. Iriana Yudiardika (Advokat)
16. Moh. Jumhur Hidayat (Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia)
17. Refly Harun (Ahli Hukum Tata Negara)
18. Rocky Gerung (Akademisi)
19. Saut Situmorang (Penulis)
20. Sigit Riyanto (Dosen FH Univ. Gadjah Mada)
21. Totok Dwi Diantoro (Dosen FH Univ. Gadjah Mada)
22. Trisno Raharjo (Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah)
23. Usman Hamid (Dosen STHI Jentera dan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia)
24. Yunus Husein (Ketua STHI Jentera 2015-2020 & Kepala PPATK 2002-2011)
25. Zainal Arifin Mochtar (Dosen FH Univ. Gadjah Mada)