KABARKALIMANTAN1, Palembang – Keluarga santri korban penganiayaan kecewa setelah Pimpinan Pondok Pesantren Modern Gontor 1 Ponorogo, Akrim Mariyat, menolak mengomentari kasus kematian Albar Mahdi (17) alias AM, termasuk soal surat kematian palsu yang diberikan ponpes tenar tersebut. Santri asal Palembang itu tewas dianiaya 2 santri senior.
“Permasalahan ini bukan urusan saya, nanti ada pembicara khusus. Jadi kami mempunyai tim dan juru bicara sendiri terkait kasus ini,” ujar Akrim usai berziarah ke makam AM di TPU Sungai Selayur Palembang, Jumat (9/9/2022).
Akrim juga enggan mengomentari dugaan upaya menutupi kasus karena surat kematian AM yang diberi keterangan “meninggal dunia akibat sakit tidak menular”. Ia hanya mengatakan jajarannya berhubungan baik dengan keluarga korban.
“Dengan keluarga AM akan terus berhubungan baik. Kita membina hubungan baik dengan keluarga di sini,” kata Akrim. Ia tak tahu, saat diwawancarai terpisah, keluarga korban kesal atas bungkamnya Akrim di depan wartawan.
Sebelumnya, Kasat Reskrim Polres Ponorogo, Nikolas Bagas Yudhi Kurnia, yang menyempatkan diri ke Palembang, mengatakan pihaknya masih fokus dalam menyelidiki kasus penganiayaan terhadap santri AM.
Jajarannya belum menyelidiki dugaan pemalsuan surat keterangan kematian. “Saat ini fokus penyelidikan di pengungkapan kasus dugaan penganiayaannya terlebih dahulu. Terkait surat keterangan kematian palsu, belum ke situ,” ujar Nikolas.
Pengacara keluarga AM, Titis Rachmawati, pada Selasa (6/9) memperlihatkan surat keterangan kematian almarhum AM. Surat keterangan kematian itu berkop surat RS Yasyfin Darussalam Gontor dan ditandatangani dokter Muckhlas Hamidy pada tanggal 22 Agustus. Surat tersebut bernomor 007/RSYD-SKM/VIII/2022. Keluarga juga meminta bantuan Hotman Paris Hutapea, lawyer ternama.
Dalam surat tersebut, AM dinyatakan meninggal dikarenakan sakit pada pukul 06.45 WIB. Tidak ada rincian mengenai penyakitnya. Selain surat tersebut, juga dilampirkan surat keterangan kematian karena penyakit tidak menular yang sama-sama ditandatangani dokter Mukhlas Hamidy.
Titis mengatakan surat itu diberikan langsung oleh seorang ustad yang mengaku sebagai perwakilan dari pihak Gontor saat penyerahan jenazah di Palembang, Selasa (23/8), sehari setelah kematian AM.
Kala itu ibu kandung AM, Soimah, tak percaya AM meninggal karena sakit. Ia lalu memaksa membuka peti jenazah. Saat dibuka, kondisi jenazah banyak ditemukan luka lebam, dari kepala hingga dada, dengan beberapa bercak darah.
Setelah itu, pihak Gontor gontor mengakui bahwa AM meninggal karena dianiaya. “Keluarga menyesalkan sikap pihak Pesantren Gontor yang terkesan menutupi peristiwa sebenarnya yang menyebabkan putra sulung Ibu Soimah meninggal,” kata Titis.
Ada hal yang tak konsisten ketika awal mengatakan anaknya meninggal karena sakit. Ketika mereka memaksa membuka jenazah melihat kondisi, baru mengaku ternyata dianiaya. Jadi terkesan ditutupi.”
“Untuk pengembangan soal surat keterangan kematian, nanti diusut setelah proses ini,” kata Kapolres Ponorogo, AKBP Catur Cahyono Wibowo. “Soal materi pemeriksaan dokter RS Yasyfin, tidak bisa disampaikan di sini. Total saksi 20 orang. Ada dari staf rumah sakit dan staf pengasuh. Kami segera memeriksa 2 orang pelaku penganiayaan, senior korban AM di Gontor.”
SOP Pengamanan Santri
Kepolisian saat ini masih fokus menuntaskan kasus penganiayaan yang menewaskan korban. Namun sumber redaksi dari keluarga santri menguak hal lain. Dihubungi redaksi melalui telepon Jumat (9/9) malam, ia mengutarakan adanya potensi selesainya kasus ini dengan sanksi ringan. Kecuali bagi pelaku penganiayaan, bisa berat sebab sudah jadi isu nasional.
“Kalau polisi tampak muter-muter untuk mengusut pengurus Ponpes Gontor, wajar. Itu kan ponpes besar, akrab dengan kepolisian. Padahal kasusnya kan jelas. Selain penganiayaan oleh pelaku, pengurus juga bisa diusut karena menutupi kasus yang menewaskan santri. Ini pelanggaran serius. RS dan dokter juga kena. Sama, pelanggaran serius,” ujarnya.
Keluarga santri itu minta namanya disimpan redaksi karena anaknya masih mondok disitu. “Dikit lagi selesai. Ntar ada apa-apa ke anak saya. Sudah bayar mahal, bisa sia-sia. Kalau kejadiannya pas dia baru masuk, tentu saya pindahkan. Bahaya, ponpes tak punya standar operasi pengamanan santri. Masa ada santri dibunuh, pelaku mereka lepasin gitu aja. Sudah dikelarin dari pondok, katanya. Enteng aja, ini nyawa,” ujarnya.
Menurutnya, ustad yang mengirim jenazah korban, juga salah fatal. Ia sudah berbohong soal kematian AM. “Tapi kebohongan ustad itu tidak berdiri sendiri, pasti ada kompromi dengan pengurus pondok sebelumnnya. Ponpes itu tempat belajar agama, bukan belajar berbohong. Ada pertanggung-jawaban kelak di sisi Allah,” sambungnya.
