KABARKALIMANTAN1, Jakarta – Harga tes PCR yang mahal, akhirnya turun hampir separuh. Rakyat senang, tapi ada yang bakal terancam. Sebut saja pihak yang berkutat dengan dunia kesehatan. Organisasi medis yang menaungi mereka pun bersuara.
Seperti diketahui, pemerintah menurunkan harga tes Polymerase Chain Reaction mulai 17 Agustus 2021. Reaksi langsung datang dari Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Medik Indonesia (Patelki). Mereka mengeluhkan perubahan harga dilakukan di tengah banyaknya stok alat tes Covid-19 tersebut yang belum terjual.
Patelki menyatakan harga PCR yang terjun bebas itu tidak mudah untuk disesuaikan. Soalnya, laboratorium masih mencari upaya untuk menjual alat PCR tanpa mengalami kerugian.
“Kita punya stok alat PCR banyak, harus jual berapa nanti? Kalau dihitung unit cost, sudah tidak masuk,” kata Wakil Ketua Umum 1 Patelki, Atna Permana, dalam konferensi pers virtual, Rabu (18/8).
Atna mengatakan, biaya unit alat tes Real Time PCR (RT-PCR) masih bisa ditutupi. Namun tes tersebut memerlukan waktu yang lebih lama, lantaran perlu menunggu hingga terkumpul 12 sampel per siklus pemeriksaan.
Hal senada disampaikan Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab), Randy H. Teguh, Menurutnya, yang akan kena dampak aadalah rumah sakit dan laboratorium yang melakukan tes PCR.
“Jika seseorang memeriksa diri untuk tes PCR, yang harus dibayarkan adalah layanannya, bukan hanya alat tes-nya saja,” ujar Randy. Ada komponen tenaga kesehatan atau nakes yang menyertainya.
Keluhan sepola dari Sekjen Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia, Lia G. Partakusuma. Pihaknya bisa menerima, tapi meminta dalam menentukan harga jual, pemerintah memperhitungkan biaya operasional kebutuhan laboratorium seperti ruang lab khusus molekuler dan lainnya.
Jangan Nombok
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Jatim mempertanyakan nasib RS-RS yang sudah terlanjur kulakan. Ketua PERSI Jatim, dr Dodo Anando menyebut jika RS-RS yang terlanjur kulakan, akan menanggung kerugian.
“Kalau berlaku ke depan, itu mulai kapan? Sebab beberapa RS sudah kulakan dengan harga yang sama. Nah ini bagaimana? Ini pemerintah harus betul-betul membantu RS. Kasihan lagi kalau RS nomboki lagi,” ungkap Dodo.
Dodo menegaskan selama ini tujuan RS bukan mencari keuntungan saat kulakan kit reagen PCR. Hal itu untuk mempersiapkan jika ada orang yang betul-betul membutuhkan PCR.
“Sekarang 3T (Testing, Tracing, Treatment) kan sudah berjalan bagus, takutnya nanti kita tidak siap tes PCR, kit reagen kurang siap, ya ini akan menjadi beban,” ujarnya. “Meski demikian, kami akan mengikuti aturan pemerintah. Prinsipnya RS siap dengan harga baru. Sudah kita hitung, ada pengurangan.”
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak keberatan apabila harga rapid test PCR diturunkan berkisar Rp 450 ribu hingga Rp 550 ribu.
Ketua Persi DIY, Darwito Suwito mengatakan, apapun yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. “Itu kan instruksi presiden, jadi ya kami mendukung. Artinya apa yang sudah diputuskan pemerintah tentu sudah lewat kajian perhitungan margin,” kata Darwito.
Kendati demikian, pihaknya meminta supaya ada regulasi khusus dari pemerintah. “Bisa berupa regulasi tentang penurunan bea masuknya agar dinolkan. Kalau modalnya turun, kan harga jualnya turun dong. Ya semua harus saling bahu-membahu, bukan mencari keuntungan saja,” terang Darwito.