KABARKALIMANTAN1, Jakarta – Aksi kubu Prabowo Subianto mengajukan judicial review Undang-undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK), dikaitkan dengan kekecewaan atas sikap Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.
Seperti diketahui, Cak Imin sempat bertemu dengan Ketua DPP PDIP, Puan Maharani, Minggu (25/9/2022). Dalam pertemuan itu Cak Imin terang-terangan menyatakan targetnya. “Minimal saya jadi calon wakil presiden,” ujar Cak Imin.
Semua tahu, PDIP sangat percaya diri mengusung Puan jadi Capres, tanpa harus berkoalisi dengan partai manapun. Namun dengan bergabungnya PKB, bisa jadi energi tambahan. Merespons hal itu, Prabowo menilai keinginan Cak Imin merupakan haknya.
Namun, ia mengingatkan bahwa dalam koalisi PKB dan Gerindra disepakati, urusan capres dan cawapres, merupakan keputusan ia dan Cak Imin.”Itu hak beliau. Tapi kan kita udah ada kesepakatan,” kata Prabowo di kompleks parlemen usai rapat dengan Komisi I DPR, Senin (26/9).
Sementara itu, Puan mengaku dirinya memiliki kecocokan dengan Cak Imin sebab sama-sama menyukai pecel. Keduanya sarapan di sebuah warung nasi pecel di Kalibata, Jakarta Selatan usia berziarah ke makam ayah Puan, Taufiq Kiemas di Taman Makam Pahlawan.
“Cocoklah pastinya, kesukaan sama. Ya seperti orang mau menikah, mencari pasangan yang cocok. Punya visi dan misi yang sama, punya cita-cita sama. Bagaimana kemudian visi dan cita-cita yang sama itu bisa disatukan untuk kesejahteraan rakyat,” ujar Puan, Minggu (25/9).
PDIP tengah mencari pasangan untuk 2024 dan akan mencari pendamping dengan visi dan misi yang sama dalam kontestasi Pilpres 2024. Syarat itu juga berlaku untuk PKB.
Kurang Sreg PKB
Melihat sikap “melayang” kubu PKB, kubu Gerindra yang sejak awal kurang sreg dengan PKB, mendorong Presiden Joko Widodo, jadi Cawapres bagi Prabowo di Pilpres 2024, meski menabrak konstitusi.
Karena itulah Sekretariat Bersama Prabowo-Jokowi 2024-2029, mengajukan judicial review Undang-undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mereka menguji Pasal 169 huruf n UU Pemilu yang berbunyi: “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: (n) belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.”
Menurut mereka, Pasal 169 huruf n UU Pemilu memberikan keraguan terhadap Pasal 7 UUD 1945 yang menyatakan: “presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.”
“Keraguan tersebut mengakibatkan hak pemohon dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 tercederai sekaligus menimbulkan pertanyaan apakah seorang Presiden dapat mencalonkan diri lagi untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sesuai dengan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 namun dengan jabatan yang berbeda?” demikian argumen pemohon dikutip dari situs MK, Senin (26/9).
Pemohon memandang bahwa pemberlakuan frasa “presiden atau wakil presiden” dan frasa “selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama” sebagaimana bunyi Pasal 169 huruf n UU Pemilu, telah bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Memasang Jokowi jadi Cawapres memang strategis. Meski tak diakui, mesin pemerintah di berbagai elemen bisa “digerakkan” untuk melakukan sosialisasi pasangan “Prabowo-Jokowi”. Jokowi sendiri sempat mengelak berkomentar terkait Cawapres. “Ini apa lagi. Kemarin 3 periode, lalu sekarang cawapres,” elaknya.
