KABAR KALIMANTAN 1, Pati – Punya 6 lapangan sepakbola (rumput premium, rumput sintetis, juga pasir), gedung akademi bola 4 lantai berkapasitas 500 pemain, hotel 10 lantai berbintang 3, juga punya klub Liga 2 dan Liga 3, tentulah bukan tokoh bola biasa. Pria gila bola itu, Saiful Arifin (47) alias Safin.
Dalam kunjungan pada awal Oktober 2021, redaksi melihat langsung geliat Safin Pati Football Academy (SPFA). Mereka tengah membangun masa depan sepakbola, meski dari kota kecil. Interaksi pun terjadi dengan pelatih, pemain, dan pekerja lain di SPFA, serta tentu saja, dengan sang pemilik.
Bagaimana SPFA dibangun dan apa misi besarnya? Berikut petikan wawancara Pemimpin Redaksi Kabar Kalimantan 1, Sigit Nugroho dengan Saiful Arifin, yang juga menjabat Wakil Bupati Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Sigit : Mengolah lahan seluas 3 hektar “hanya” untuk sebuah akademi sepakbola, tentu ada misi besar yang menyertainya. Bisa dijelaskan?
Safin : Yang pertama, tentu saja aspek pembinaan sepakbola, karena saya memang penggemar sepakbola. Saya berharap, kelak akademi ini melahirkan produk pemain berkualitas. Kan segala fasilitas yang disediakan berstandar nasional bahkan internasional, dengan staf pelatih berlisensi tinggi. Ada pula misi sosialnya, seperti membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar. Untuk mengurus akademi ini, saya mempekerjakan sekitar 60 orang.
Ide membangun SPFA semata-mata karena ambisi sendiri atau ada kolaborasi dengan partner?
Saya sering keliling Eropa untuk melihat dan belajar bagaimana mengelola sepakbola, baik klub profesionalnya, maupun akademinya. Contohnya ke Madrid, Manchester, dan lain-lain. Tapi saat langsung eksekusi bikin akademi, idenya didorong Coach Rudy Eka Priyambada (pelatih timnas putri-Red). Kata dia, saya hanya perlu menyediakan uang Rp 1 miliar, cukup untuk membangun akademi sepakbola.
Bagaimana realisasinya, sesuai estimasi atau melebihi anggaran?
Bukan hanya melebihi anggaran. Dalam perkembangannya, ternyata biayanya naik berpuluh kali lipat. Hitung saja, 1 lapangan rumput sintetis, habis Rp 3 miliar. Kita punya 2 lapangan sintetis, 4 lapangan rumput, dan 1 lapangan pasir. Belum lagi membangun mes pemain 4 lantai untuk kapasitas 500 pemain. Tapi sudah terlanjur, ya terus dilanjutkan. Toh niatnya untuk kebaikan.
Sebagian besar fasilitas sudah dibangun. Hanya mes yang baru 2 lantai, dari rencana 4 lantai. Infrastruktur apalagi yang akan dibangun, apalagi terkait ide mengembangkan sport tourism?
Betul, mes masih separuh, perlu 2 lantai lagi. Kalau selesai, tentu akan jadi salah satu akademi bola dengan fasilitas terbaik di Indonesia, meski kami tak berniat mengalahkan siapa pun.
Kami sedang bersiap membangun kolam renang dan wisata pendukung, sesuai dengan pengembangan SPFA di jalur sport tourism. Misalnya: flying fox, arena sepeda BMX, juga waterboom. Yang terakhir ini masih wacana, menunggu partner sekaligus investor. Kalau dana dari saya sendiri, saat ini belum. Fokus ke sepakbolanya dulu.
Pemanfaatan lapangan itu sendiri, full untuk akademi atau bisa juga disewakan untuk pihak eksternal?
Niatnya full akademi, tapi Sabtu-MInggu kami juga membuka peluang untuk digunakan oleh pihak lain. Tentu dengan tarif yang wajar, soalnya biaya operasional perawatan lapangan tidak sedikit. Satu lapangan bisa melibatkan 2-3 orang untuk perawatan.
SPFA sendiri berniat menggelar banyak kegiatan. Kalau saja tidak ada pandemi Covid-19, kami sudah buat turnamen. Di kota lain, turnamen memang sudah banyak digelar, tapi pemiliknya bukan pejabat. Kalau di sini, pemiliknya kan pejabat, tanggung jawabnya beda. Bisa jadi sorotan.
Di titik mana saja aspek sosial dimasukkan dalam kerangka usaha SPFA?
Selain membuka lapangan kerja bagi puluhan warga Pati maupun luar Pati yang bekerja di sini, SPFA juga memberikan bea siswa bagi pemain-pemain bertalenta. Mereka tidak perlu membayar sepeser pun seperti pemain lain (Sebagai informasi, di SPFA tiap pemain membayar uang pendaftaran sebesar Rp 12 juta, dan uang SPP Rp 3,5 juta dengan fasilitas all in: makan, mes, berlatih bola, bersekolah-Red).
Bagaimana jika ada warga sekitar yang ingin ikut memanfaatkan fasilitas lapangan di SPFA?
Bagi warga sekitar, kami juga memberikan kesempatan untuk memanfaatkan lapangan secara gratis, tentu dengan jadwal yang telah diatur. Kebetulan salah satu lapangan, sejatinya milik warga namun kurang terurus. Kami bermusyawarah dan warga setuju kami merenovasi dan merawat, untuk digunakan bersama sesuai kesepakatan. Itu lihat tim putri yang sedang berlatih, kan tidak memakai seragam SPFA karena memang bukan siswa akademi. Mereka warga sini yang sedang memanfaatkan jatah memakai lapangan.
Di saat awal pendirian akademi, biasanya belum ada keuntungan. Sementara dana keluar terus untuk membangun infrastruktur. Adakah tercium adanya potensi kerugian?
Kalau bicara keuntungan saat ini, ya masih jauh. Aspek sosial, sudah. Kalau aspek bisnis, saat ini sama sekali belum. Anggaplah social-preneur dulu. Orang yang suka pembinaan sepakbola, biasanya punya spirit mau berkorban. Itu tumbuhnya dari dalam hati. Belum bicara keuntungan. Beda dengan pemilik klub di Liga 1. Untungnya konon luar biasa, meski saya sendiri belum bisa menghitung cara bisnisnya.
Anda dikenal sebagai politisi PDIP sebelum terpilih jadi Wakil Bupati. Adakah keuntungan yang dipetik di jalur politik melalui popularitas di sepakbola?
Bisa saja ada politisi menikmati keuntungan sebagai orang bola. Saya sendiri malah berniat mundur dari politik gara-gara ingin fokus mengurus sepakbola. Memang banyak yang bilang saya berpeluang menang jika maju sebagai Pati 1 (Bupati Pati-Red). Tapi saya kan sudah merasakan, apa saja halangan dalam mengurus bola saat kita juga ikut berkecimpung di dunia politik, atau jadi pejabat publik.
Anda masih memiliki saham PSG Pati (bersama selebritas Atta Halilintar). Selain itu, juga mengelola klub Bajak Laut Semarang di Liga 3. Kenapa masih mau membeli klub lagi?
Kan saya menikmati mengelola segala sesuatu tentang sepakbola. Itu memang sudah menjadi passion saya. Insha Allah semua untuk kebaikan.