Indonesia

Pansus DPR akan Usut Semua, Termasuk Beda Narasi Gas Air Mata

KABARKALIMANTAN1, Jakarta – Anggota Komisi X DPR RI, Yoyok Sukawi, mengatakan pihaknya akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan, terutama terkait seputar perbedaan narasi perihal gas air mata.

Hal itu disampaikan Yoyok Sukawi dalam diskusi di Kantor DPP Partai Demokrat, Selasa (10/10/2022), dengan pembicara Yoyok, Rahmad Darmawan (pelatih RANS), Joni Kurnianto (CEO PS Pati), Sigit Nugroho (wartawan KabarKalimantan1), dan Zaki Muzakin (suporter Persija), dengan moderator Hendrik Teja.

“Dari diskusi malam ini, serta dari temuan di lapangan, kami menangkap segala aspirasi masyarakat, terutama suporter, khususnya Aremania yang menjadi korban. DPR ini kan wakil rakyat, berhak memanggil Menteri dan pejabat yang setara, terkait kasus ini agar bisa diusut tuntas dan memastikan standar protokol keamanan ke depan,” ujar Yoyok.

Ia juga mencatat secara khusus terkait penggunaan gas air mata, apalagi yang kedaluarsa. Narasi yang beredar dan/atau diedarkan pihak Polri belakangan ini adalah penggunaan (penembakan) gas air mata ke arah penonton dan suporter, tidak sampai mengakibatkan kematian.

Sebelumnya, Kadiv Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo, merujuk keterangan pakar dari Guru Besar Taksikolgi Universitas Udayana, Profesor I Made Agus Gelgel Wirasuta.

“Menurut Profesor Made Gelgel, dalam gas air mata tidak ada racun yang mengakibatkan matinya seseorang. Dr Mas Ayu Elita dari dosen Teknologi Pertahanan Universitas Pertahanan dan Universitas Indonesia bilang, gas air mata atau CS ini dalam skala tinggi pun tidak mematikan,” ujar Dedi menyimpulkan.

Namun narasi gas air mata tak mematikan, dibantah temuan Profesor Mónica Kräuter, pakar di bidang kimia Universitas Simón Bolívar, Venezuela. Di National Geographic, ia menyebutkan gas air mata kedaluwarsa lebih berbahaya.

Menurut Mónica Kräuter, setelah melewati masa kedaluwarsa, berbagai komponen dalam gas air mata akan terurai menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana menjadi gas sianida, fosgen, dan nitrogen, sehingga membuatnya menjadi lebih berbahaya. Senyawa hasil penguraian gas air mata bersifat racun bagi manusia.

“Jika jumlahnya kecil, gas sianida dapat larut dengan mudah oleh selaput lendir. Namun, bila Anda terpapar dalam jumlah besar, sel tubuh akan mengalami kesulitan menggunakan oksigen untuk menjalankan fungsinya dan merusak berbagai organ tubuh,” ujarnya.

Beda Mabes dan Polresta

Apakah kesimpulan Dedi yang disebar media ini menyesatkan atau tidak, ini juga akan ditanyakan oleh DPR. Perilaku anggota Polri sendiri banyak dikritisi. Sementara Polrestas Malang melakukan sujud massal sebagai bentuk penyesalan dan permohonan maaf atas tewasnya 133 jiwa Aremania (termasuk wanita dan 33 anak-anak), tapi di Jakarta Mabes Polri justru gencar menebarkan narasi pembelaan diri korps.

“Bahkan kiri marak video dengan narasi seolah aparat polisi dan TNI tidak salah, sebab pemicunya justru Aremania. Ketika ada yang mengkritisi, muncul akun akun baru yang menyerang balik. Sepertinya ada buzzer dilibatkan di sini. Cukuplah di area politik, itu pun merusak tatanan. Masa mau diterapkan di sepak bola juga,” papar Sigit.

Fakta lain, narasi gas air mata tak mematikan, dibantah temuan Profesor Mónica Kräuter, pakar di bidang kimia Universitas Simón Bolívar, Venezuela. Di National Geographic, ia menyebutkan gas air mata kedaluwarsa lebih berbahaya.

Menurut Mónica Kräuter, setelah melewati masa kedaluwarsa, berbagai komponen dalam gas air mata akan terurai menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana menjadi gas sianida, fosgen, dan nitrogen, sehingga membuatnya menjadi lebih berbahaya. Senyawa hasil penguraian gas air mata bersifat racun bagi manusia.

“Jika jumlahnya kecil, gas sianida dapat larut dengan mudah oleh selaput lendir. Namun, bila Anda terpapar dalam jumlah besar, sel tubuh akan mengalami kesulitan menggunakan oksigen untuk menjalankan fungsinya dan merusak berbagai organ tubuh,” ujarnnya.

Analogi Tak Tepat

Namun Polri berkilah soal pemakaian gas air mata. “Regulasi penggunaan gas air mata mengacu pada Protocol Geneva (Protokol Jenewa) tahun 1925 dan Chemical Weapon Convention (CWC) tahun 1993, boleh dipakai kepolisian seluruh dunia, termasuk di Indonesia,” kata Dedi.D

Dijelaskan juga, gas air mata atau chlorobenzalmalononitrile (CS) hanya boleh digunakan oleh aparat penegak hukum di seluruh dunia, tapi tidak boleh digunakan untuk peperangan. Kalau peperangan yang keras saja tidak boleh, apalagi di stadion sepakbola?

Dalam kejadian di Stadion Kanjuruhan, ada 3 jenis gas air mata yang digunakan, yakni pertama berupa asap putih atau smoke. Polri menyebut, penyebab kematian adalah kekurangan oksigen karena terjadi desak-desakan, terinjak-injak, bertumpukkan, mengakibatkan kekurangan oksigen di pintu 13, pintu 11, pintu 14, dan pintu 3.

“Analoginya tidak demikian. Anggap saja gas air mata tidak membunuh, tapi membuat orang kesakitan, berusaha menghindar, hingga tak bisa bernafas. Pemicunya tetap gas air mata. Saya pun tak terima suporter diperlakukan demikian, soalnya kami bukan teroris atau penjahat,” ujar Zaki yang selama mendukung Persija telah 3 kali terpapar gas air mata.

“Tentu saya dan seluruh narasumber di sini ikut sedih, apalagi saya pernah jadi pelatih Aremania. Tahu betul karakter mereka, tertib bahkan sejak antre tiket. Tentu semua ada pemicunya. Saya lebih menyarankan kita mencari solusi atas kasus ini,” komentar Rahmad Darmawan.

Ia lantas mengingatkan, jika stadion dianggap tidak lolos verifikasi, ya libatkan pemerintah untuk membangun stadion. Kan ada Instruksi Presiden atau INPRES Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional. Maksimalkan itu,” lanjutnya.

“Klub setuju sekali. Harus melihatkan pemerintah. Kalau diserahkan ke klub, ya habis kita. Soalnya, bisa mendanai tim untuk ikut berkompetisi saja, saat ini sudah bagus,” imbuh Joni.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Most Popular

To Top
error: Content is protected !!