POLITIK

Isu “Dukun Mega” dari Gerindra, Tak Redakan Perseteruan Demokrat vs PDIP

KABARKALIMANTAN1, Jakarta – Isu Megawati Soekarnoputri yang mendesak KPU agar tak mengubah nomor 3 “milik” PDIP untuk Pilpres 2004 sebagai bisikan dari dukun, memantik emosi partai banteng moncong putih itu. Secara takk langsung, hal itu dinilai sekaligus agak meredakan perseteruan Partai Demokrat vs PDIP.

Selasa (20/9) kemarin, politikus senior PDI Perjuangan, Junimart Girsang, menyerang Desmond Junaidi, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Desmod berkelakar, “Permintaan nomor 3 untuk PDIP pada Pemilu 2024 oleh Bu Mega, mungkin hasil konsultasi ke dukun.”

Junimart tidak terima. “Menanggapi yang demikian, sederhana. Kalau orang (Desmond-Red) sudah bicara dukun-mendukun, berarti dia yang suka main dukun,” kata Junimart di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa.

Junimart mengungkapkan bahwa Megawati adalah sosok yang selalu memikirkan konsekuensi ketika berbicara dan tidak asal bunyi. Ia meyakinkan usulan yang dibawa Megawati telah dipikirkan dengan matang.

“Artinya, beliau sudah matang memikirkan itu. Dan tentu kita sepakat kalau tetap dengan nomor seperti Pemilu sebelumnya. Itu mengurangi anggaran internal parpol, demi efisiensi, memanfaatkan jutaan APK (alat peraga kampanye-Red). Menghemat, menghindari pemborosan,” jelas Junimart.

Keberanian kader Gerindra menyerang PDIP dinilai sebagai bentuk rasa percaya diri menghadapi Pilpres 2024. Tanpa berkoalisi dengan PDIP, Gerindra seolah yakin elektabilitas sang Ketum, Prabowo Subianto, tak tertandingi Capres yang diusung PDIP, Puan Maharani.

Selama ini hanya Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang menempel Prabowo di berbagai survey, bukan media sosial. Ganjar memang kader PDIP, tapi tampak jelas ia tak direstui para pengambil kebijakan partainya.

Ituah alasan Gerindra tak sungkan-sungkan lagi menyentil PDIP, meski sama-sama partai pendukung rezim Joko Widodo. Namun isu “dukun Mega” itu tak cukup meredakan perseteruan Demokrat-PDIP.
“Substansi masalah yang diributkan jelas beda. Isu nommor urut dan dukun, tak cukup kuat untuk mengganggu tema saling bongkar borok kepemimpinan era Jokowi kontra era Susilo Bambang Yudhoyono,” komentar Amarno, pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, saat dihubungi redaksi Rabu (21/9) pagi.

2 Isu Sentral

Dalam kasus Demorat-PDIP, ada 2 isu sentral yang jadi pokok, yakni potensi akan adanya kecurangan dalam Pilpres 2024 serta dosa atau borok era SBY dibandingkan era Jokowi.

“Selama 10 tahun di pemerintahan, 2 kali menyelenggarakan Pemilu termasuk Pilpres. Demokrat tidak pernah melakukan kebatilan seperti sekarang,” kata SBY. “Saya mendapat informasi, Pilpres 2024 akan diatur sedemkian rupa hingga hanya ada 2 pasangan. Tanda-tandanya sudah terlihat. Isu penjegalan capres juga saya terima. Karena itu saya harus turun gunung.”

Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, langsung bereaksi keras. “Mohon maaf Pak SBY tidak bijak. Dalam catatan kualitas Pemilu, tahun 2009 justru menjadi puncak kecurangan yang terjadi dalam sejarah demokrasi,” kata Hasto.

Ia menambahkan, pada era kepemimpinan SBY ditemukan manipulasi daftar pemilih tetap (DPT) yang bersifat masif di Pacitan, Jawa Timur. “Ada yang bisa menunjukan berbagai skema kecurangan pada saat Pemilu 2009. Puncak liberalisasi politik dan sektor pertanian terjadi di zaman Pak SBY,” kata Hasto.

Terbukti, kenaikan perolehan suara partai Demokrat naik tajam sebesar 300 persen pada Pemilu 2009. “Pasca Pak SBY tidak berkuasa, terbukti hal-hal yang sifatnya bubble, kemudian mengempis atau pecah sendiri. Kan cara menggelembungkannya bersifat instan,” kata Hasto.

“Saat itu, Ketua KPU dijabat Anas Urbaningrum, yang masuk Partai Demokrat setahun setelah Pemilu 2004. Juga Andi Nurpati yang harusnya menjadi wasit dalam Pemilu, ternyata direkrut menjadi pengurus teras Partai Demokrat.”

Kubu Demokrat tak tingggal diam. “Tidak ada itu hasil daftar pemilih tetap (DPT) 2009 bermasalah, ataupun hasil pemilu yang dimanipulasi. Janganlah mengada-ada Bang Hasto,” tutur Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra.

Menurut Herzaky, jumlah suara Partai Demokrat pada Pemilu 2009 meningkat 3 kali lipat karena prestasi SBY yang dirasakan masyarakat. Pengangguran semakin sedikit, gaji PNS termasuk guru, dan TNI-Polri hampir tiap tahun meningkat. Daya beli masyarakat tinggi, pendapatan per kapita meningkat drastis, dan keuangan negara stabil.

“Di era SBY, demokrasi berjalan dengan baik dan polarisasi tak terjadi. Oposisi, masyarakat sipil, dan mahasiswa bebas mengkritik, tanpa takut diintimidasi, apalagi dikriminalisasi,” katanya.

Herzaky turut menyinggung adanya kasus korupsi yang melibatkan salah satu Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan pada 2019. “Salah satu pelakunya kader partainya Bang Hasto, Harun Masiku. Dia sudah buron 1.000 hari lebih. Tidak ada cerita seperti itu di Pemilu 2009,” katanya.

“Wajar Pak SBY mengingatkan agar para elit politik tidak berupaya mengamputasi harapan rakyat. Apalagi dengan cara-cara yang tidak demokratis dan menyalahgunakan kekuasaan. Tidak perlu terlalu reaktif, apalagi mengumbar hoaks dan fitnah. Kecuali, kalau memang merasa skenario jahatnya ketahuan.”

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Most Popular

To Top
error: Content is protected !!