KABARKALIMANTAN1, Jakarta – Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Ma’mun Murod mengkritisi fiqh Lebaran harus ikuti putusan Pemerintah. Ia pun meminta umat dan pejabat saling menghargai terkait perbedaan cara menentukan waktu awal Ramadan, 1 Syawal atau 10 Dzulhijjah.
Ma’mun mengingatkan, hendaknya kedepankan toleransi. Bukan justru sebaliknya, merasa seolah hanya pendapatnya yang benar. “Jangan bodohi orang dengan mengatakan, secara fiqh Lebaran harus ikuti putusan Pemerintah. Itu kan fiqh sesuai selera kelompok Anda,” tutur Ma’mun Murod dalam keterangannya di Twitter @mamunmurod_, Rabu (19/4/2023).
“Hargai dong kelompok lain yang mengikuti pandangan fiqh lainnya. Ketika fiqh jadi pijakan, harusnya sikap keagamaan yang menonjol lebih luwes karena fiqh itu bersifat luwes.”
Sebelumnya tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Nadirsyah Hosen berharap umat mengikuti pengumuman penetapan Hari Raya Idul Fitri yang disampaikan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, yakni jatuh pada hari Sabtu (22/3). Karena itu, ia menjelaskan tentang hukum berpuasa Ramadan di saat umat Islam lainnya sudah melaksanakan Salat Idul Fitri.
Lebih jauh ia menjelaskan dalam ilmu fiqih, Lebaran ikut keputusan pemerintah. “Tapi yang berbeda juga harus bertenggang rasa. Pakai fasilitas sendiri saja. Jangan pakai fasilitas publik atau milik pemerintah. Gampang kan toleransi itu,” terang Rais Syuriah PCI (Pengurus Cabang Istimewa) Nahdlatul Ulama (NU) di Australia dan New Zealand itu.
Pandangan UAH
Terkait metode penetapan 1 Syawal, Ustaz Adi Hidayat (UAH) mengatakan terdapat 2 metode yang bisa digunakan dalam penentuan Hari Raya Idul Fitri tersebut, yaitu rukyatul hilal dan hisab.
“Metode rukyatul hilal (melihat hilal), merupakan metode yang biasa dipraktekkan pada zaman Nabi Muhammad SAW, termasuk dalam menentukan waktu-waktu ibadah harian seperti shalat, sesuai dengan kemampuan masyarakat pada saat itu,” kata UAH dalam kanal Youtube Adi Hidayat Official.
“Umumnya di zaman Nabi, masyarakatnya memang tidak bisa membaca, menulis, apalagi menghitung secara kompleks. Faktor kemudahan ialah alasan yang mendasari Nabi Muhammad SAW memilih menggunakan metode melihat hilal. Pada zaman itu, belum ada yang mampu melakukan analisis perhitungan astronomis.”
Hal tersebut dikatakan dalam sabda Rasulullah SAW, “Kita adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung. Bulan itu demikian dan demikian, yakni suatu kali 29 hari dan suatu 30 hari”. (HR. Bukhari)
Naqsabandiyah Juga Jumat
Kaum Muhammadiyah memang pada Jumat (21/4) merayakan Lebaran. Seperti tampak dilakukan jamaah di Lapangan Murangan, Sleman. Sekitar 800-an jamaah melakukan salat Idul fitri 1444 H dengan khusu.
Lain lagi dengan jamaah Tarekat Naqsabandiyah di Sumatera Barat. Mereka bahkan sudah menjalankan Ibadah salat Id pada Kamis (20/4/2023). Salah satunya di Surau Baru, Kelurahan Cupak Tangah, Kecamatan Pauh, Kota Padang.
Pada pukul 07.30 WIB puluhan Jamaah Naqsabandiyah Surau Baru sudah berkumpul untuk bersiap-siap menjalankan ibadah salat Idul Fitri 1444 H. “Kami mengunakan cara dengan hisabul rukyat,” kata Imam Surau Baru Zahar.
Selain metode tersebut, jamaah Naqsabandiyah Kota Padang juga menggunakan Dalil Jimak, Qiyas dan Kitab Munjid. Setelah memakai metode itu maka puasanya lengkap 30 hari.