KABAR KALIMANTAN1, Jakarta – Wajar jika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU Cipta Kerja (Ciptaker) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Penilaian itu disampaikan Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR, Mulyanto.
Mantan anggota panitia kerja (panja) rancangan undang-undang Cipta Kerja ini menyebut ada tekanan internasional saat penyusunan.
“Secara umum, UU ini bertentangan dengan jiwa konstitusi dan lebih memihak para pemodal atau investor dan pengusaha, termasuk tekanan internasional,” ujar Mulyanto.
Dari segi formil, UU Cipta Kerja adalah regulasi yang membatalkan, mengubah, menambah, dan memasukkan norma baru dalam satu peraturan. Ditambah, pembahasannya dilakukan secara terburu-buru dengan sedikit menyerap aspirasi publik.
“Lalu, akhirnya RUU ini diketok menjelang tengah malam gelap gulita. Dari segi substansi, UU ini meliberalisasi sektor pertanian, kehutanan, perdagangan, dan industri pertahanan nasional, lalu mencekik buruh,” ujar Mulyanto.
Di kalangan Senayan merebak kabar pengesahan tengah malam itu sarat intervensi. Ide UU Cipta Kerja itu sendiri awalnya datang dari Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Maritim dan Investasi. Hal itu diakui sendiri oleh Luhut di media nasional.
Mulyanto mengeklaim, sejak awal PKS menolak pengesahan RUU Cipta Kerja yang dilakukan pada Oktober 2020, setelah pihaknya menimbang manfaat dan mudharatnya dari omnibus law tersebut. Dia menyatakan, UU Cipta Kerja harus segera diperbaiki sebagaimana putusan MK.
“Bila tidak diperbaiki, UU ini akan menjadi inkonstitusional permanen. Ini menjadi pelajaran yang berharga bagi pembentuk UU, agar ke depan menjadi lebih baik,” ujar Mulyanto.
MK telah menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UU Cipta Kerja tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
“Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan, ” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan.
Dalam pembacaan amar putusan, Anwar menyatakan, Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan para pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dengan DPR melakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan di dalam putusan tersebut.
MK memerintahkan kepada para pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan tersebut diucapkan oleh MK.
Apabila dalam tenggang waktu tersebut para pembentuk undang-undang tidak melakukan perbaikan, Undang-Undang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
“Apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan (UU Cipta Kerja), undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali,” ujar Anwar.