KABAR KALIMANTAN 1, Jakarta – Pujian dari beberapa ketua umum partai kepada Presiden Joko Widodo dalam menangani pandemi Covid 19, banjir kritikan warganet di media sosial.
Untuk mencari second opinion alias pandangan kedua sebagai penyeimbang, dua kru redaksi KK1, Sigit Nugroho dan Edy Rustian, mewawancarai anggota DPR, Herman Khaeron (52).
Kepala Badan Pembinaan Organisasi, Keanggotaan, dan Kaderisasi DPP Partai Demokrat itu menerima redaksi di ruang kerjanya, DPR RI. Berikut petikan wawancaranya:
Tentang narasi keberhasilan Jokowi dalam menangani Covid-19, kok kontradiktif dengan suara mayoritas warganet di medsos, yang lazim dianggap lebih jujur. Pandangan bapak?
Pemerintah memang sudah berupaya sebaik mungkin, bahkan dipuji para ketua umum partai. Kita tidak menafikan bahwa pemerintah sudah bekerja keras. Tapi, memang ada target-target yang agak sulit tercapai. Misalkan, untuk mencapai herd immunity. Dulu kan targetnya selesai 2020 akhir, lalu mundur ke Mei 2021, tidak tercapai. Lalu mundur lagi ke Agustus 2021, nggak tercapai juga.
Apa indikator keberhasilan pemerintah dalam menangani pandemi?
Kan disampaikan juga oleh pemerintah, bahwa agak sulit mencapai herd immunity 80 persen dari jumlah penduduk yang sudah tervaksin. Vaksinnya memang tidak mudah didapatkan juga. Ini harus menjadi evaluasi. Pertumbuhan hanya di kisaran 20 ribu. Artinya, jika merujuk steady positive rate-nya tinggi, ini masih belum dianggap aman. Presiden juga menyatakan tidak aman, harus tetap menjaga protokol kesehatan. Indikator yang menguatkan penilaian bahwa penanganan Covid telah berhasil, tidak cukup kuat. Kalau upaya, memang ada dan diapresiasi. Tapi jika merujuk pada keberhasilan, tidak.
Jika pujian para ketua partai dan klaim keberhasilan pemerintahan Jokowi sesuai fakta di lapangan, apakah itu juga tercermin di sektor ekonomi?
Nah ini fakta kedua, kita kupas dari dampak ekonomi. Kemarin disampikan ada pertumbuhan 7,07% di semester 1 kuartal kedua. Menurut saya itu bias, karena indikatornya year on year. Indikatornya terhadap kuartal 2 atau semester 1 tahun 2020. Saat itu Covid benar-benar sedang menekan kondisi ekonomi masyarakat. Tidak fair juga kalo ukurannya year on year 2020. Harusnya year on year 2019, atau sampaikan pertumbuhan real per kuartal 2, kan sekitar 3%.
Jika pertumbuhan ekonomi bagus, bukankah ada standar kemakmuran masyarakat?
Ya. Kalau betul pertumbuhannya memang tinggi, ada 3 indikator dasar: lapangan pekerjaaan terbuka, pendapatan terjamin, tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ini hal-hal yang harus jadi evaluasi kita. Semoga ke depan ada cara lebih jitu untuk menyelesaiakan Covid 19, berikut dengan persoalan ekonominya.
Kalau bebas berkerumun juga menjadi indikator keberhasilan penanganan Covid, perhelatan liga-liga di Eropa, jelas berbeda dengan Liga1 Indonesia. Di sana penonton penuh, tanpa masker. Di sini sebaliknya. Komentar Bapak?
Mereka di Eropa sana sudah sadar vaksin, bukan berarti tidak ada pandemi. Pemahaman terhadap pandemi Covid sudah utuh. Bagi yang sakit, tidak bergabung dalam aktivitas di ruang publik. Jika hasil tes SWAB atau PCR positif, mereka isoman sendiri.
Di kita belum tentu, biarpun hasil tes dinyatakan positif, tapi karena merasa badannya fit, tetap keluar dan menularkan ke orang lain.
Terkait penilaian Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas tentang ancaman Indonesia menuju failed nation, apakah itu proporsional?
Pesimistisnya begitu. Mas Ibas melihat ada indikator kuat, saat Covid yang sedang memuncak. Waktu itu, dari 50 ribu orang yang terpapar Covid, tingkat kematiannya mencapai 1500, bahkan 2000. Ini kekhawatiran Mas Ibas sebagai warga negara. Seluruh orang tak bisa membohongi dirinya sendiri, seperti Mas Ibas. Harus objektif. Ada kekhawatiran publik, kita bisa terancam menjadi negara gagal. Maksudnya, gagal menangani Covid 19.
Bagaimana tanggapan soal dukungan 7 Fraksi DPRD DKI kepada Anies Baswedan, atas interpelasi Fraksi PDIP dan PSI terhadap Gubernur DKI itu, terkait gelaran Formula E?
Harus dibedakan mana partai-partai yang merasa berseberangan, mana partai-partai yang mendukung. Ini kemudian yang melekat pada sifat subjektif. Seharusnya objektif. Kalau Formula E dilaksanakan di Jakarta, itu akan meningkatkan kepercayaan dunia internasional, terlepas situasi Indonesia sedang ada Covid, PPKM. Tetap saja bahwa kepercayaan internasional harus kita jaga, karena terkait investasi dll.
Kepercayaan itu banyak instrumennya.
Tidak boleh berpikir sempit dan subjektif. Di Demokrat begitu garisnya. Bila ada kepentingan besar untuk rakyat dan on the track, biarpun kita di luar (oposisi), pemerintah kita dukung habis. Begitu sebaliknya. Jika rakyat termarjinalkan, ya kita kritisi untuk dilakukan perbaikan. Kami partai di luar pemerintah yang konstruktif. Kami tidak membabi-buta.
Terakhir, bagaimana soal amandemen UUD, dimana PAN sudah masuk ke dalam barisan pendukung pemerintah?
Itu hak partai-partai, apakah gabung atau mau tetap kritis di luar pemerintah.
Demokrat tetap memilih di luar sebagai bagian fungsi kontrol, mewakili aspirasi rakyat. Kami tetap bersama-sama rakyat. Pilpres 2024, kita tunggu dinamika politikya. Siapa akan jadi calon presiden dan cawapresnya.