Nasional

MK Putuskan UU Cipta Kerja Tak Sesuai UUD ’45, Kritikus Bereaksi Keras

KABAR KALIMANTAN1, Jakarta – Babak baru pengesahan UU Cipta Kerja yang sarat kasus tapi disahkan paksa oleh sekelompok anggota DPR pro rezim, kini dicap miring oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Seperti diketahui, pengesahan itu direspon demo berdarah oleh buruh, yang dihadapi aparat dengan kekerasan. Nyatanya, sikap MK kini terbaca sebagai pro rakyat.

Kamis (25/11/2021), Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan bahwa Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil, inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945. Dengan begitu, UU Cipta Kerja tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Majelis Hakim MK berpendapat dalam proses pembentukannya, UU Cipta Kerja minim partisipasi publik. Padahal, partisipasi publik dalam pembentukan perundang-undangan sangat fundamental dan sangat bermakna (meaningful).

Majelis Hakim MK juga menegaskan kepada Pemerintah dan DPR, tidak dibenarkan membentuk peraturan yang baru, termasuk tidak dibenarkan mengambil keputusan yang dilandasi dengan UU 11/2020. Namun Majelis Hakim MK memberikan waktu selama dua tahun kepada pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja.

Menyikapi putusan ini, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi, menilai, “Pemerintah dan DPR RI telah bertindak melawan konstitusi karena ngotot membahas dan mengesahkan UU Cipta Kerja pada saat masyarakat Indonesia berjuang melawan pandemi Covid-19.”

Kritikus lain datang dari Partai Demokrat. “Sebelum MK, Demokrat sudah bicara. Kami bangga legislator kami bersuara lantang menentang UU Ciptaker yang kini dinyatakan inkonstitusional oleh MK,” komentar Rachland Nashidik, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Demokrat, lewat akun Twitter-nya seperti dikutip redaksi Kabar Kalimantan1.

Komentar Nico Silalahi, kritikus dari kubu aktivis pemuda yang dikenal vokal, bahkan lebih bikin telinga panas.

“Putusan banci yang menunjukkan keberpihakan pada kapital serta mengulur waktu untuk memberikan servis,” ujar Nico.

Menurut Nico, kalau memang melanggar UUD, langsung saja batalkan. “Bukan memberi kesempatan para komprador melembutkan narasi sambil narik cuan dari bohir,” lanjutnya.

Rizal Ramli, ekonom yang pernah jadi mantan menteri era Presiden Joko Widodo periode 1, juga senada. Ia menyebut keputusan MK muter-muter, tidak to the point.

“Arah keputusan benar. Tapi ruwet dan ribet. Konvolutif. Kok pakai istilah
“Inkonstitusional Bersyarat”. Kalau bertentangan dengan UUD’45, ya tidak konstitusional. Iki kok muter-muter,” sentil Rizal Ramli.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Most Popular

To Top