KABARKALIMANTAN1, Buenos Aires – Lionel Messi (35) kini telah kembali ke Paris, bersiap membela klubnya Paris Saint-Germain (PSG) di Ligue 1. Ia harus segera meninggalkan kemeriahan pesta perayaan Argentina sebagai juara dunia 2022.
Hampir pasti, kelak di Negeri Tango nama Messi akan terus dielu-elukan sebagai legenda, seperti tokoh protagonis lain yang membawa Argentina jadi kampiun pesta bola sejagat.
Sebutlah Mario Kempes, si nomor 10 yang membawa trofi juara Piala Dunia 1078. Atau Diego Armando Maradona, juga pemilik jersey nomor 10 yang membawa negerinya jadi kampiun pada Piala Dunia 1986.
Jarak era Mario Kempes dengan Maradona hanya 8 tahun. Gembira sudah pasti, tapi jangan sekali-kali bandingkan dengan era Messi. Penantian gelar juara selama 36 tahun, sangatlah wajar bisa dibayar dengan histeria massa.
Saya merasakan sendiri betapa rakyat Argentina tak kenal lelah, selama berjam-jam berdiri di semua jalanan yang mengarah ke sekitar Monumen Obelisk yang penuh bersejarah.
“Campeone, campeone, ho ho hoooo ho. Campeone, campeone….!” begitulah koor mereka, spontan tanpa aba-aba. Kenal atau tidak, selama ada yang sedang berfoto ataupun swa-foto alias selfie, semua ingin nampang. Begitu pula video. Intinya, semua ingin masuk dalam frame, masuk dalam sejarah kebanggaan sang juara.
Peran Sentral
Jelas sepak bola adalah permainan kolektif. Tapi tak bisa dinafikan pula peran sentral seorang otak, motor, sekaligus inspirator tim. Argentina sarat pemain top. Ada Angel di Maria, Lautaro Martinez, Enzo Fernandez, dan banyak lagi. Tapi sebutlah nama Messi, semua bak debu.
Kebintangan seorang Messi, selama ini selalu dipertentangkan dengan Cristiano Ronaldo, GOAT lainnya (Greatest Of All Time-Red). Kini dengan trofi juara dunia, perdebatan tak perlu dilanjutkan lagi.
Saya jadi teringat protagonis dalam skala lain, di Tanah Air. Bukan pula di level negara, sebab Indonesia belumlah jadi juara di turnamen elit. Piala AFF, sekalipun (setidaknya hingga naskah ini dibuat, Rabu 4 Januari 2023).
Levelnya klub, tapi kegilaan dalam sambutan, punya citarasa yang identik atau serupa. Di era jadul, Persib Bandung pernah punya Ajat Sudrajat (60). Pria kelahiran Bandung Bandung, 5 Juli 1962 itu pernah jadi simbol kebangkitan Persib akhir era 1980-an.
Si Arab, begitu julukan dia lainnya, ikut berjasa membawa 2 raihan trofi juara Piala Perserikatan 1985/1986 dan 1989/1990. Ada spotong kontroversi saat tongkat popularitasnya mencuat: Ajat duet dengan penyanyi top di masanya, Hetty Koes Endang.
Toh kisah itu tertutup dengan prestasi di lapangan. Apalagi momen juara. Arak-arakan senantiasa menyemut sepanjang perjalanan Jakarta-Bandung, lewat jalan berular di kawasan Puncak. Maklum, saat itu belum ada jalan tol. Ajat dkk bukan hanya milik Bandung, tapi seluruh Jawa Barat.
Saking antusiasnya, Walikota Bandung kala itu, Ateng Wahyudi, ingin menandai legacy sebagai kota bola dengan membuat patung. Maka berdirilah patung garapan seniman Nyoman Nuarta. Ada yang menyebutnya Patung Ajat atau Patung Persib.
Sayangnya, tokoh protagonis bagi bobotoh Persib itu berbalik jadi tokoh antagonis. Ajat dimusuhi bobotoh karena pindah ke klub rival, Bandung Raya. Kini, sejarah telah terkubur. Tapi nama nama Ajat, seperti halnya patung di Jalan Lembong itu, masih kokoh di hati bobotoh.
Ikatan Emosional
Di Jakarta, di era lebih modern, ada nama Bambang Pamungkas alias Bepe (42). Dia aslinya kelahiran Semarang, 10 Juni 1980. Meski tak berdarah Betawi, tapi karier Bepe memang tertancap di Persija Jakarta. Ikatan emosional Jakmania dan Bepe merontokkan tembok primordial kesukuan.
Total Bape telah berkarier sebagai pemain Persija selama 9 tahun yakni pada 1999-2000, disambung 2001-2004 (3 tahun), serta di rentang 2007-2012 alias 5 tahun. Selesai gantung sepatu, kariernya berlanjut jadi manajer Persija.
Bersama tim Macan Kemayoran, Bepe pernah jadi kampiun pada gelaran kompetisi Liga 1 edisi 2001 dan 2018, serta Piala Presiden 2018. Bepe pernah juara juga saat membela Selangor di Liga Utama Malaysia, Piala Malaysia, dan Piala FA Malaysia. Semua terjadi pada 2005.
Bepe juga meraih berbagai gelar individu baik sebaghai top skor maupun pemain terbaik. Karena itulah, nama Bepe di Persija sangat lengket, nyaris tak terlepas. Fans Persija, Jakmania, senantiasa mengelu-elukan Bepe, lebih dari pemain lain.
Bepe adalah bintang protagonis Persija. Begitu pula Ajat di Kota Kembang. Meski skalanya klub lokal, namun kecintaan masyarakat bola setempat pada idola mereka, tak luntur oleh gerusan waktu. Apalagi La Pulga, yang membawa pulang trofi juara dunia.
Terima kasih para legenda, telah membawa suka cita lewat gegap gempita sepak bola. Mereka hadir membawa cinta dan trofi juara. Gracias, el protagonista.
Salam dari Buenos Aires.