KABARKALIMANTAN1, Jakarta – Akhirnya 3 nama Capres hasil rekomendasi Musyawarah Rakyat (Musra) jelang Pilpres 2024, diserahkan relawan kepada Presiden Joko Widodo, Minggu (14/5/2023).
Seperti diketahui, dalam acara puncak Musra di Istora Senayan, Jakarta, Jokowi menerima amplop berisi 3 nama terkuat hasil Musra. Mereka yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Airlangga Hartarto.
“Yang namanya strategi, ya jangan tergesa-gesa. Jangan grusa-grusu, jangan pilih cepet-cepetan karena Belanda masih jauh,” kata Jokowi saat memberi masukan di depan ribuan relawannya.
Dia mengaku masih akan menunggu dinamika koalisi pendukung capres yang saat ini belum final. Sebab menurut Jokowi, hanya partai politik yang memiliki wewenang untuk mengusung capres dan cawapres.
Selanjutnya, dia mengaku akan berkomunikasi dengan mereka soal nama yang ia pilih sesuai rekomendasi hasil Musra.
“Itu bagian saya untuk memberikan bisikan kuat kepada partai-partai yang sekarang ini juga koalisinya belum selesai. Jadi kalau saya ngomong sekarang, untuk apa? Nanti, pada saatnya, pada waktu yang tepat.”
Selain tiga nama capres, Jokowi pada kesempatan itu juga menerima 4 nama Cawapres rekomendasi Musra. Mereka yakni, Mahfud MD, Sandiaga Uno, Moeldoko, dan Arsyad Rasjid.
Etika = Hukum
Sebelumnya kritik datang dari Denny Indrayana, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Senior Partner INTEGRITY Law Firm, yang beraktivitas di dunia hukum Indonesia dan Australia. Ia mengkritisi pernyataan Jokowi dan PDIP.
“Saya itu pejabat publik, sekaligus pejabat politik,” demikian jawaban Jokowi saat disoal cawe-cawenya dalam mengurusi koalisi dan kontestasi Pilpres 2024 (4/5). “Sebagai politisi, saya berhak dan wajar ikut dalam berpolitik praktis. Tidak ada aturan konstitusi yang saya langgar.”
“Kalau para ketua umum partai ingin agar tatanan yang dibangun Presiden Jokowi dilanjutkan dan mendiskusikan hal tersebut dengan Presiden, salahnya di mana?” imbuh MH Said Abdullah, Ketua DPP PDI Perjuangan, Senin (8/5)
“Sikap Jokowi dan PDIP, seolah-olah benar. Namun, jika dikuliti lebih jauh, terutama dari sisi etika kepresidenan, maka ada batasan-batasan moral dan hukum yang dilanggar oleh Presiden Jokowi, termasuk pelanggaran konstitusi, ketika ikut turut campur dalam soal Pilpres 2024,” jelas Denny.
Ia ingin mengingatkan Presiden Jokowi untuk menjunjung tinggi etika berpolitik dan melaksanakan perintah konstitusi, untuk menjadi wasit yang netral dalam pemilu.
“Perlu dicatat, etika tidak bisa dipisahkan dari hukum. Pelanggaran etika adalah juga pelanggaran hukum. Etika adalah pondasi dasar hukum. Ronald Dworkin mengatakan, prinsip moral adalah pondasi hukum,” lanjutnya.
Konflik Kepentingan
Presiden yang tidak mengerti etika berpolitik, etika bernegara, etika berkonstitusi, seharusnya tidak layak menjadi pemimpin bangsa. Tanpa memahami dan melaksanakan etika berpolitik kepresidenan, siapapun tidak layak menjadi Presiden Republik Indonesia.
“Setiap orang tentu dijamin hak dan kebebasannya untuk berpolitik. Namun tetap ada etika dan hukum yang berbeda ketika mengatur berpolitik untuk pribadi, dibandingkan berpolitik sebagai pejabat publik, termasuk seorang presiden.”
“Mencampur-adukkan antara politik sebagai presiden dengan politik sebagai pribadi, akan mengakibatkan benturan kepentingan atau conflict of interest yang berbahaya bagi kehidupan bernegara,” lanjutnya.
“Paling tidak ada dua aspek yang membedakan antara politik institusional Presiden Jokowi dengan politik personal Joko Widodo. “Satu, kepentingan yang diperjuangkan, dan dua, fasilitas yang digunakan,” sentil Denny.
