KABARKALIMANTAN1, Jakarta – Penayangan film dengan judul Pengkhianatan G30S/PKI pada masa Orde Baru (Orba) merupakan sebuah kewajiban. Hal ini berakhir pada era pemerintahan Presiden BJ Habibie.
Memang, 2 menteri terlibat dalam penghentian penayangan film G30S/PKI. Namun tokoh sesungguhnya bukan mereka, melainkan Saleh Basarah. Kenapa bisa demikian?
Film tersebut bersumber dari peristiwa berdarah yang terjadi di penghujung bulan September 1965. Sebuah kisah kelam yang pernah terjadi di negara ini.
Tanggal 30 September tengah malam hingga 1 Oktober dini hari, sejumlah prajurit Tjakrabirawa pimpinan Letkol Untung menculik dan membantai sejumlah jenderal Angkatan Darat. Jenazah mereka ditemukan di sebuah sumur di Lubang Buaya, Jakarta.
Kejadian tersebut kemudian diikuti peristiwa-peristiwa balasan. Ribuan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dieksekusi, ditangkap, dan dibuang ke Pulau Buru.
Pengkhianatan G30S/PKI merupakan film besutan Arifin C. Noer itu dirilis pada tahun 1984 dengan durasi film 3 jam 40 menit. Pada masa pemerintahan Soeharto, film produksi Pusat Produksi Film Negara (PPFN) ini rutin diputar setiap akhir September sebagai peringatan G30S/PKI.
Keputusan 2 Menteri
Setelah Soeharto lengser, film itu tak lagi menjadi materi tayangan wajib di televisi nasional. Kebijakan tersebut diputuskan 2 menteri pada pemerintahan Presiden BJ Habibie.
Mereka adalah Muhammad Yunus Yosfiah (Menteri Penerangan) dan Juwono Sudarsono (Menteri Pendidikan Nasional). Yunus saat masih aktif di militer, lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) 1965, perwira pasukan elite AD Kopassus yang sarat pengalaman di medan tempur seperti di Timor Timur.
Dia pernah menjadi Panglima Kodam Sriwijaya, lalu promosi menjadi Komandan Sekolah Staf Komando ABRI dan kemudian Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI.
Pensiun dengan pangkat bintang tiga, Habibie mempercayainya sebagai Menteri Penerangan dalam Kabinet Reformasi Pembangunan. Berbagai terobosan dibuatnya seperti penghapusan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Sedangkan Juwono dikenal dengan kepakarannya dalam ilmu politik dengan spesialisasi masalah internasional. Sarjana Publisistik Universitas Indonesia (1965) itu melanjutkan studi magister di Institute of Social Studies, Den Haag (1969). Gelar doktor ia raih di London School of Economics and Political Science dan Universitas Georgetown, Inggris (1985).
Pada era Abdurrahman Wahid dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia dipercaya sebagai Menteri Pertahanan (1999-2000). Baik Yunus dan Juwono ternyata diminta Saleh Basarah untuk menyetop tayangan film itu.
Hal ini diungkkap sejarawan, Asvi Warman Adam, dalam bukunya “Menguak Misteri Sejarah”. Ia menyebut Kepala Staf TNI Angkatan Udara Tahun 1973-1977, Mohamad Saleh Basarah Suradiningrat, punya peran dalam penghentian penayangan film G30S/PKI.
Asvi dalam buku tersebut menuturkan Saleh Basarah mengaku menelpon dua menteri Yunus Yosfiah dan Juwono Sudarsono. Saleh meminta agar film Pengkhianatan G30S/PKI tidak diputar lagi.
Menurut Asvi, AURI dituding terlibat dalam peristiwa G30S. Akibatnya sepanjang masa Orba, stigma negatif melekat pada korps ini. Penghentian penayangan film G30S PKI tersebut merupakan bagian dari upaya pelurusan sejarah AURI. “Di dalam film itu terkesan, Pangkalan AU Halim adalah sarang pemberontak’,” tulis Asvi.
Tapi langkah itu dikritisi Wahyu Budoyoputro, pengamat sejarah dari Jakarta Selatan. “Ibarat mematikan seekor nyamuk dengan bom. Kan tinggal diberi tambahan narasi, tak harus menuduh AURI terlibat. Tapi menghentikan tayangan film ini, membuat generasi berikut tak paham kekejian komunis,” ujar Wahyu.
Ditambah dengan iklim yang “terlalu bebas” bagi antek PKI di era terkini, Wahyu kuatir generasi muda tak akan paham penyusupan antek PKI dalam lembaga-lembaga kunci, bahkan pemerintahan.
“Kan sekarang anggota DPR RI Pusat berani bilang saya bangga jadi anak PKI. Beberapa petinggi negeri juga ditengarai beraliran serupa. Makanya nafas baru komunisme harus diwaspadai. Stop film itu, seperti membuka pintu,” lanjut Wahyu.
Untungnya, beberapa stasiun televisi tetap menayangkan film tersebut, meski tak ada kewajiban. “Mungkin perlu re-make, diringkas durasinya, disesuaikan kebutuhan pemirsa terkini,” usul Wahyu.
Hatta dan Tokoh NU
Strategi PKI sebenarnya telah tercium Wakil Presiden pertama Muhammad Hatta. Hal itu diulas Poeng Lubis pada buku “Bung Hatta Menjawab”. Tujuan PKI untuk merebut kekuasaan. Kalau tidak meyakinkan Soekarno dulu, PKI tidak akan mendapat kekuatan.
“Saya sudah merasa, kalau PKI menang, Soekarno malah akan disingkirkannya, bukannya diangkat. Bagi tiap orang yang tidak buta hati, pasti akan arif dia. Suatu waktu pasti akan meledak dan akan membukakan mata setiap orang,” ujar Bung Hatta, yang terbukti benar.
Terpisah, kubu Nahdlatul Ulama (NU) mengaku bertentangan dan bahkan bermusuhan dengan PKI. Sejarah kekejaman PKI terhadap santri, kiai dan warga NU di pedesaan tak bisa dihapus, dan bahkan telah terjadi sejak sebelum pecahnya pemberontakan Madiun 1948.
Hingga peristiwa berdarah G30S PKI, NU dan PKI berada di kutub berbeda dan selalu bertentangan. Namun kini banyak yang menganggap NU lembek terhadap ajaran komunisme.
Mengutip laman NU, keterlibatan NU dalam pusaran politik pasca-kemerdekaan mendapat tantangan yang tidak semakin mudah karena menghadapi penjajahan dalam bentuk lain.
Dulu, para kiai NU sangat melek terhadap penetrasi ideologi komunisme dan kolonialisme. Saat Belanda dan Jepang menjajah bangsa Indonesia, para kiai tidak terkecoh dan tidak melibatkan diri dalam pertarungan antara komunisme dan kolonialisme di Indonesia.
Karena keduanya sama-sama ateis dan sama-sama imperialis. “Politik non-komunis atau anti-komunis yang dijalankan NU tidak hanya untuk menghadapi komunisme saja, tapi NU akan berhadapan dengan segala bentuk la diniyun (sekularisme) dan segala bentuk zanadiqoh (ateisme). Keduanya musuh NU,” ujar KH Idham Chalid di Hari Lahir ke-39 NU di Jakarta.
Meski mayoritas warga NU anti-PKI, ada saja 1-2 yang menyimpang. Musso atau Munawar Musso alias Paul Mussotte, merupakan tokoh komunis Indonesia yang memimpin PKI pada era 1920-an. Namanya lekat dengan peristiwa Madiun 1948.
Ada yang menyebut jika tokoh PKI kelahiran Kediri ini merupakan anak dari seorang pegawai kantoran bernama Mas Martoredjo. Namun fakta lain terungkap, ternyata Musso adalah anak dari seorang kiai besar di Kecamatan Pagu, Kediri, yakni KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo.
“Musso itu anak gawan (bawaan-Red), jadi saat KH Hasan Muhyi menikahi Nyai Juru, yang sudah memiliki putra, salah satunya Musso. Mereka memiliki 12 putra,” ujar KH Muqtafa, salah satu pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Kapurejo, pimpinan KH Mohammad Hamdan Ibiq, Kamis (28/9/2022).
Sayang sekali. Anak kiai mati bukan sebagai santri, tapi sebagai gembong PKI.
