Hina Nabi (1988) Salman Rushdie Ditusuk 2022, Andrew Tate Respek Islam Intoleran

FacebookWhatsAppXShare

KABARKALIMANTAN1, New York – Setelah novelis Sir Ahmed Salman Rushdie ditusuk 15 tikaman kala hendak mengisi sebuah acara sastra di New York, Jumat (12/8/2022), nama eks juara dunia kickboxer Andrew Tate (AS), juga ikut muncul.

Tentu ada korelasinya. Seperti diketahui, penulis novel berjudul
The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan), dinilai menghina Nabi Muhammad SAW dan agama Islam pada 1988.

Pada 1988 pemimpin Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini (alm) menjatuhkan fatwa mati bagi Rushdie. Ada pula hadiah bagi pembunuhnya. Sang novelis bersembunyi, mengganti nama dan minta suaka ke berbagai negara.

Ternyata, 33 tahun berselang, saat merasa aman dari fatwa mati, ia berani keluar ke muka umum lalu ditikam hingga nyawanya kritis. Nah, disinilah korelasinya.

Andrew Tate, atlet karate dalam naungan International Sport Karate Association (ISKA) yang juga juara dunia kickboxer di 2 kelas berbeda, tahun 2021 lalu seperti memperingati Rushdie dan simpatisannya.

Tak Berniat Singgung

Andrew yang kini populer di sosial media, merilis sebuah pernyataan kontroversial yang seperti biasa, ditonton ratusan ribu hingga jutaan netizen.

“Menurutku, Islam agama intoleran. Aku berkata ini bukan untuk menyinggung. Jika kamu toleran kepada segala hal, maka kamu tidak berpendirian,” ungkap Andrew.

Ia mencontohkan, ketika Tuhan orang Kristen dihina, tidak ada yang marah. “Aku pakai kaos Jexxx adalah gay, biasa saja. Coba pakai itu nama nabi mereka,” katanya sembari mengingatkan sanksinya keras dan tanpa batas waktu.

Meski mengakui penganut Kristen ortodoks, Andrew bilang, “Aku sangat memahami sikap intoleran umat Islam. Aku respek pada pendirian mereka.”

Nah itu yang terjadi pada Salman Rushdie. Saat itu penerbit pertama The Satanic Verses, Viking Penguin, ditekan untuk menyetop distribusi novel.

Pelarangan buku ini menyebar ke sejumah negara, terutama yang sebagian besar berpenduduk muslim seperti Bangladesh, Sudan, Sri Lanka, hingga Indonesia.

Unjuk rasa anti-Rushdie pun menjalar ke berbagai penjuru dunia, termasuk Inggris. The Guardian (2/12/1988) menulis, ribuan muslim di Brentford dan Bolton. Massa melakukan longmarch dari Masjid Zakariyya Jame ke pusat kota, lalu dilanjut aksi pembakaran novel itu.

Efek Khomeini

Jessica Jacobson dalam bukunya “Islam in transitions” menyebut fatwa hukuman mati kepada Salman Rushdie pada 1998 atau satu dasawarsa sejak fatwa dikeluarkan, tak didukung pemerintah Iran lagi.

Meski demikian, Ali Khamenei, suksesor Ayatollah Ruhollah Khomeini, pada 2019 menegaskan bahwa fatwa tersebut tetap “kokoh dan tidak dapat dibatalkan”. Bahkan setelah dilindungi pemerintah Inggris, fatwa tetap tegak.

Faktanya, 15 tusukan di leher Rushdie, menegaskan jika kemarahan dilandasi agama, tak bisa dikendalikan oleh negara. Hanya soal waktu saja.

FacebookWhatsAppXShare

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *