Demokrat vs PDIP Panas Soal Hitungan Harga BBM, Adian Dicap Buta Sejarah

FacebookWhatsAppXShare

KABARKALIMANTAN1, Jakarta – Di tengah maraknya demo menolak kenaikan harga BBM, politisi Partai Demokrat, Ardi Wirdamulia, menganggap politikus PDIP, Adian Napitupulu, keliru soal perhitungan kenaikan harga BBM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Ardi yang menjabat Kepala Badiklat DA Partai Demokrat Provinsi DKI Jakarta itu menilai Adian tidak melakukan penghitungan sesuai kondisi zaman dan kurs Rupiah. “Cuma retorika politikus yang bahkan tidak paham tentang apa yang dia katakan,” kata Ardi melalui keterangan, Kamis (8/9/2022).

Ardi membandingkan hitungan dengan argumentasi Adian yang menyebut total kenaikan harga BBM di era SBY jenis Premium Rp4.690 (dari Rp1.810 ke Rp6.500). SBY menaikkan BBM lebih mahal Rp1.190 dari Jokowi.

Menurut Ardi, hitungan Adian itu cacat lantaran tidak membandingkan dengan kondisi fluktuasi harga minyak dunia mentah dan kurs yang berlaku saat itu. Rasio kenaikan BBM 2 periode SBY mencapai 259,1 persen. Namun saat itu, harga minyak dunia naik tajam, dari USD $33 ke USD $98 atau bila dirupiahkan dengan kurs saat itu, dari Rp296.505 menjadi Rp1.212.260.

Dengan demikian, persentase kenaikan minyak dunia mencapai 308,8 persen, sementara kenaikan BBM selama masa kepemimpinan SBY lebih kecil yakni 259,1 persen.

“Jadi kalau AN memang pembelajar sejarah dan ilmu matematika, maka dia harus berkesimpulan SBY menaikkan harga lebih kecil dari kenaikan harga dunia. Tidak ada kesimpulan lain,” kata Ardi.

Sementara pada periode pemerintahan Jokowi, kendati kenaikan BBM hanya sebesar 53,84 persen, harga rata-rata minyak mentah pada 2022 hanya USD$98. Maka artinya dari 2014-2022 tidak ada kenaikan harga minyak dunia yang signifikan. Hanya ada kenaikan kurs Rupiah dari Rp12.370 menjadi Rp14.850.

“Kalau AN ngotot mau membandingkan 53.84 persennya Jokowi dan 259.1 persennya SBY, ya artinya AN yang buta sejarah. Main angka tanpa paham konteks,” imbuhnya.

Ardi juga menyinggung pernyataan Adian yang mencoba membandingkan kemampuan warga membeli BBM berdasarkan upah minimum provinsi (UMP). “Upah pekerja setiap bulan di era Jokowi dapat digunakan untuk membeli 464 liter BBM. Sementara pada era SBY hanya dapat membeli 338 liter per bulan,” sentil Adian.

Rinciannya, era Jokowi dengan UMP DKI Rp4.641.000 per bulan dan harga BBM Rp10.000, sedangkan pada era SBY, UMP sebesar Rp2,2 juta dengan harga BBM Rp6.500.

Menurut Ardi, UMP Jakarta yang digunakan Adian sebagai contoh perbandingan tidak relevan. Pilihan Adian untuk mengambil indikator upah minimum juga tidak jelas atau acak, lantaran upah tidak menggambarkan daya beli masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Apabila ingin lebih adil, perbandingan bisa menggunakan parameter pendapatan per kapita. Ardi mencatat, pendapatan per kapita pada 2014 senilai USD 3.492. Sedangkan harga BBM saat itu senilai Rp6.500 atau USD 0,5254 dengan kurs rupiah saat itu senilai Rp12.370.

Sementara pendapatan per kapita pada 2021 untuk hitungan 2022 seharga USD$4.292, dan dengan harga BBM senilai Rp10.000 atau USD$0,6734 dengan kurs senilai Rp14.850.

Dari kedua perbandingan zaman itu, Ardi mencatat bahwa pada zaman SBY, warga memiliki pendapatan bulanan yang senilai dengan 6.646 liter BBM. Sedangkan pada pemerintahan Jokowi, pendapatan bulanan senilai 6.373 liter BBM.

Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat, Irwan, ikut mengkritik cara berpikir Adian. “Cara berpikir Adian tidak sesuai dengan prinsip NKRI. UMP itu berbeda-beda di setiap provinsi dan kabupaten atau kota. Sedangkan harga BBM sama secara nasional atau simetris. Cara pikirnya tidak NKRI,” kata Irwan.

Bebaskan Demo

Di saat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto rajin memberi argumentasi yang bernada membenarkan kebijakan rezim Jokowi, kubu Demokrat sebaliknya. “Seluruh kader dibebaskan untuk ikut serta bersama rakyat melakukan unjukrasa menolak kenaikan BBM,” ucap Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani.

“Kader tak perlu menangis dalam menyampaikan argumentasi penolakan kenaikan BBM ini sebagaimana aksi sandiwara elit-elit partai PDIP pada saat merespon kenaikan BBM di masa pemerintahan SBY yang lalu.”

Sementara itu massa buruh di Jawa Timur menyindir Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, yang kini tidak menangis saat harga bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan pemerintah.

Sindiran itu tertuang dalam poster yang dibawa buruh saat menggelar demonstrasi di depan kantor Gubernur Jawa Timur hari ini, Selasa (6/9). Ada pula foto elit PDIP lainnya, yakni Puan Maharani dan Hasto Kristiyanto yang terpampang di poster.

Salah satu buruh yang membawa poster itu mengatakan potret tersebut adalah sindiran terhadap PDIP yang sedang berkuasa sekarang. “Mbiyen (dulu) nangis-nangis pas BBM naik, saiki guya-guyu delok rakyate tambah miskin (sekarang tertawa lihat rakyatnya tambah miskin-Red). Jangan pilih parpol yang tidak menolak kenaikan BBM di Pemilu 2024,” kata dia.

Perwakilan massa buruh dari FSPMI, KSPI, SPPJM diterima oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jatim, Himawan Estu Bagijo, Kepala Bakesbangpol dan Kepala Dinas Sosial Jatim untuk melakukan audiensi.

Terpisah, Mahasiswa Universitas Riau (Unri) menggelar aksi di kantor DPRD Riau. Ratusan mahasiswa datang untuk menolak kenaikan harga BBM. Aksi digelar di Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru. Massa minta DPRD Riau mendesak pemerintah pusat membatalkan kenaikan BBM.

Mahasiswa datang dengan membawa poster ‘JKW THE BADMAN’. Di poster itu, terlihat foto pria berkostum Batman dan bertaring layaknya drakula. Sementara di sisi kanan dan kiri terlihat bercak darah. Lalu di bagian bawah terlampir berita-berita kenaikan tarif BBM yang menampilkan foto Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Hari ini kami melakukan aksi Indonesia Gawat Darurat Jilid II. Kita mahasiswa Universitas Riau mewakili Provinsi Riau menolak kenaikan BBM,” kata Presiden Mahasiswa Unri, Kaharuddin usai aksi di DPRD Riau, Kamis (8/9/2022).

FacebookWhatsAppXShare

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *