KABAR KALIMANTAN1, Sampit – Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah, mencatat realisasi pendapatan daerah pada 2024 di wilayahnya mencapai Rp2,3 triliun atau 95,92 persen dari target.
“Realisasi pendapatan daerah pada 2024 lalu terbilang cukup tinggi, walaupun belum 100 persen. Data itu per 31 Desember 2024, namun data itu belum melalui pemeriksaan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),” kata Kepala Bapenda Kotim Ramadansyah di Sampit, Kalteng, Kamis (9/1).
Secara detail, target pendapatan daerah Kotim pada 2024 sebesar Rp2.432.356.040.400, sedangkan realisasinya Rp2.333.228.309.758,59. Artinya nilai target yang belum tercapai sebesar Rp99.127.730.641,41.
Realisasi pendapatan daerah Kotim pada 2024 mengalami peningkatan dibandingkan 2023, yakni pada 2024 sebesar Rp2,3 triliun sedangkan 2023 sebesar Rp2,1 triliun. Dengan kata lain, capaian 2024 tetap lebih baik dibanding tahun sebelumnya.
“Hal itu dikarenakan target pada 2023 lebih kecil, yakni Rp2,2 triliun, sedangkan 2024 targetnya Rp2,4 triliun,” ujarnya.
Pendapatan daerah itu meliputi tiga variabel utama, yakni pendapatan asli daerah (PAD) dengan capaian realisasi 51,86 persen, pendapatan transfer 109,55 persen, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah nol persen atau tidak ada.
Menurut dia, belum tercapainya target PAD pada 2024 dikarenakan penerimaan pajak daerah yang realisasinya hanya 25,27 persen.
Ramadansyah menyebut dari sebelas jenis pajak daerah yang menjadi sumber PAD Kotim, ada dua yang mengalami kendala signifikan selama 2024, yakni pajak walet dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).
Realisasi pajak walet pada 2024 hanya 61,76 persen dari target Rp560.000.000. Berdasarkan informasi yang diterima, kondisi ini disebabkan produksi sarang dan populasi burung walet yang semakin berkurang.
Di samping itu, harga jual burung walet yang dulu mencapai Rp8 juta-Rp13 juta per kilogram, kini anjlok menjadi Rp3 juta-Rp6 juta per kilogram, sehingga pajak yang diterima pun lebih kecil, karena pajak walet adalah 5 persen dari hasil penjualan sarang walet.
“Kondisi ini kemungkinan masih akan menjadi kendala pada 2025 ini, kalau harganya masih seperti itu,” sebutnya.
Kemudian terkait BPHTB, penyusunan target BPHTB mengacu pada banyaknya perusahaan perkebunan swasta yang belum memiliki izin hak guna usaha (HGU), dengan harapan apabila perusahaan mengurus HGU, maka serapan BPHTB bisa lebih tinggi.
Berdasarkan kajian, potensi penerimaan daerah melalui pengurusan HGU cukup besar, tetapi karena proses perizinan yang cukup panjang, maka perusahaan belum bisa merealisasikan hal tersebut.
Sementara, terkait izin HGU merupakan kewenangan pemerintah pusat melalui kementerian terkait, sehingga Pemkab Kotim tidak bisa berbuat banyak selain mendorong perusahaan untuk segera menyelesaikan HGU.
“Tapi, kami dapat informasi dari Kementerian ATR/BPN Kotim bahwa sudah ada beberapa perusahaan yang melakukan pengajuan HGU ke kementerian, kita doakan saja supaya lancar. Kalau itu terealisasi, artinya mereka bisa menyelesaikan kewajiban ke daerah,” sebut Ramadansyah.
Sumber: ANTARA