KABARKALIMANTAN1, Jakarta – Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki kewenangan untuk menolak pendaftaran pasangan capres-cawapres yang diajukan partai politik jika mengakibatkan partai politik lainnya tidak bisa mendaftarkan pasangan calon.
Kewenangan KPU tersebut diatur dalam Undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu di Pasal 229 Ayat (2). Berlaku pula untuk Pilpres 2024. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa pasangan capres-cawapres bisa didaftarkan partai politik atau koalisi partai politik yang memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional hasil pemilu sebelumnya.
Satu partai politik bisa mendaftarkan pasangan capres-cawapres jika memenuhi syarat tersebut tanpa berkoalisi dengan partai lainnya. Sementara partai politik yang memiliki kursi DPR di bawah 20 persen, maka harus berkoalisi dengan partai politik lainnya agar memenuhi syarat.
Kemudian, dalam UU Pemilu, KPU memiliki wewenang untuk mencegah pasangan calon tunggal di pilpres. Minimal harus ada dua pasang capres-cawapres yang berkontestasi. KPU boleh menolak pendaftaran 1 pasangan capres-cawapres yang diajukan oleh seluruh partai politik peserta pemilu. Alasannya, jika seluruh partai politik bergabung dalam satu koalisi bersama, maka hanya akan ada 1 pasangan capres-cawapres.
Lalu, KPU juga boleh menolak pendaftaran 1 pasangan capres-cawapres yang diajukan oleh gabungan partai politik yang mengakibatkan partai politik lain tidak dapat mendaftarkan pasangan calon. Dengan kata lain, harus ada partai politik yang membuat koalisi baru dan memenuhi syarat untuk bisa mendaftarkan pasangan capres-cawapres.
Beda Ketentuan
Kewenangan yang diberikan KPU tersebut bertujuan untuk mencegah pasangan calon tunggal di pilpres. Harus ada minimal dua pasangan capres-cawapres. Ketentuan ini berbeda dengan kontestasi level pemilihan kepala daerah (pilkada). Ali Khadavi, kader Partai Demokrat, menyebutnya sebagai ketentuan aneh.
KPU tidak bisa mencegah pasangan calon tunggal di pilkada. Namun, selain didaftarkan partai politik, pasangan calon kepala daerah juga bisa berasal dari kalangan independen atau nonparpol.
“Coba pola ini juga diterapkan di Pilpres, cawapres bisa dari kalangan independen atau nonparpol, maka penyelewengan politik berupa tekanan parpol pada presiden yang diusung, tidak akan terjadi. Standar ganda ini,” ujar Ali Khadavi, kader Partai Demokrat pada redaksi Selasa (20/9/2022).
Di level Pilpres, 2 pasangan rawan melahirkan perseteruan seperti era sebelumnya, 2019. Sekalipun akhirnya Prabowo Subianto akhirnya masuk kabinet Joko Widodo, hal itu tak meredupkan perpecahan. Potensi terjadinya hanya 2 pasangan dalam Pilpres, dikhawatiran Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, kekhawatiran SBY merupakan hal yang bagus untuk diwaspadai demi mencegah kecurangan Pilpres 2024. Apalagi, menurutnya, bila isu presiden 3 periode atau presiden 2 periode masih bisa menjadi calon wakil presiden (cawapres) para periode berikutnya, masih panas.
“Pernyataan Pak SBY bahwa ada peluang pemilu tidak jujur, bagus sekali. Ini membuat kita semua waspada karena di lapangan memang masih ditemukan kecurangan. Apalagi ada isu 3 periode, ada isu eks presiden 2 periode mau wapres, semua harus waspada,” kata Mardani lewat videonya, Senin (19/9).
Terpisah, Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng, menyebut pernyataan SBY berasal dari orang terpercaya. Namun ia tidak membeberkan secara gamblang. “Info yang disampaikan ke Pak SBY dan dari orang dipercaya. Orang itu dengar langsung,” kata Andi kemarin. “Saya sendiri menerima informasi upaya penjegalan Anies Baswedan maju di pencalonan presiden 2024 akan dilakukan lewat instrumen hukum.”
