KABAR KALIMANTAN 1, Jakarta – Utang tersembunyi alias hidden debt dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, akhirnya dibuka lembaga riset, AidData. Begitu jadi polemik, Kementerian Keuangan buka suara.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, menjelaskan ikhwal utang tersembunyi tersebut.
Menurutnya, utang tersembunyi versi AidData tidak dimaksudkan sebagai utang yang tak dilaporkan atau disembunyikan. Melainkan utang non pemerintah, tapi jika ada wanprestasi berisiko membuat pemerintah terpaksa ikut terlibat.
“Jadi di titik ini kita sepakat, ini bukan isu transparansi. Utang tersebut dihasilkan dari skema Business to Business (B-to-B) yang dilakukan dengan BUMN, bank BUMN, special purpose vehicle, perusahaan patungan dan swasta. Utang BUMN tidak tercatat sebagai utang pemerintah dan bukan bagian dari utang yang dikelola pemerintah,” jelas Prastowo dikutip dari akun Twitter @prastow, Jumat (15/10/2021).
“Utang perusahaan patungan dan swasta tidak masuk dalam wewenang pemerintah, sehingga jika pihak-pihak tersebut menerima pinjaman, maka pinjaman ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka. Meski demikian tata kelola kita kredibel dan akuntabel soal ini,” sambung Prastowo.
Sedangkan untuk utang luar negeri (ULN) yang dilakukan pemerintah, BUMN dan swasta tercatat dalam Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI). SULNI disusun dan dipublikasikan secara bulanan oleh Bank Indonesia bersama Kementerian Keuangan, clear dan transparan.
Masih dalam cuitannya, Prastowo menjelaskan berdasarkan data SULNI akhir Juli 2021, total utang luar negeri Indonesia dari Cina sebesar US$ 21,12 miliar. Terdiri dari utang yang dikelola pemerintah sebesar US$ 1,66 miliar (0,8% dari total utang luar negeri pemerintah), serta utang BUMN dan swasta totalnya sebesar US$ 19,46 miliar.
“Dengan demikian, dalam konteks Indonesia, tidak tepat terdapat utang luar negeri (termasuk pinjaman Cina) dikategorikan sebagai “hidden debt”. Semua ULN yang masuk ke Indonesia tercatat dalam SULNI dan informasinya dapat diakses oleh publik. Tak ada yg disembunyikan atau sembunyi-sembunyi,” tegas Prastowo.
Laporan AidData
Isu itu mencuat setelah ada laporan lembaga riset AidData, isinya menyinggung utang tersembunyi alias hidden debt dari Cina.
Dalam laporan berjudul ‘Banking on the Belt and Road: Insight from a new global dataset of 13,427 Chinese Development Projects’, pinjaman yang disalurkan Cina itu bertujuan untuk pembangunan jalur sutera melalui Belt and Road Intiative (BRI) yang selama ini dilakukan di banyak negara. Salah satunya, Indonesia.
Nah, di Indonesia dana tersebut digunakan salah satunya untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Awalnya proyek tersebut akan dibiayai JICA atau Japan International Cooperation Agency.
JICA memasukkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dalam rencana bantuan pembangunan luar negeri untuk Indonesia.
Saat itu sekitar 75% dari total biaya proyek akan dilakukan melalui skema pinjaman dengan bunga 0,1%. Di sisi lain, Cina ternyata juga terpikat proyek kereta cepat, dan berupaya menyalip Jepang memenangkan kontrak tersebut. Bahkan, China menawarkan keunggulan dari Jepang dari dimensi pembangunan, kecepatan, hingga pembiayaan.
Pada awal 2015, Indonesia mengundang Cina untuk memasukkan proposal alternatif dan Cina mengusulkan biaya yang lebih rendah dan pembiayaan dijamin oleh Cina Development Bank (CDB) dengan bunga 2% dan waktu pembangunan lebih cepat.
September 2015 beredar kabar Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung karena bisa membuat utang pemerintah membengkak. Namun belakangan Jokowi menyanggah kabar tersebut.
Jepang pun langsung merespons dengan menawarkan pengurangan 50% yang harus dijamin oleh negara. Cina tidak mau kalah. Negeri Tirai Bambu menawarkan penghapusan seluruh syarat jaminan negara dan mengusulkan transaksi neraca di luar pemerintah.
Singkat cerita, pemerintahan Jokowi akhirnya memilih Cina menggarap proyek kereta cepat Itu. Kemudian China Development Bank akan meneruskan pinjaman ke sebuah perusahaan yang dibentuk atas patungan Cina dan Indonesia.
Pada 2017 CDB meneken perjanjian pinjaman senilai US$ 3,96 miliar dengan PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) yang 60% saham dimiliki oleh Indonesia dan 40% Cina.