KABAR KALIMANTAN1, Jakarta – Pakar Gizi Universitas Negeri Hasanuddin (Unhas) Prof Abdul Razak Thaha memaparkan enam poin penting yang perlu diperhatikan saat memonitoring dan evaluasi program percepatan penurunan stunting.
“Pertama adalah Indikator yang tidak tepat. Penggunaan indikator yang tidak tepat dapat menyebabkan hasil yang tidak akurat dalam keberhasilan program, misalnya menggunakan indikator berat badan, itu tidak tepat karena stunting terkait dengan tinggi badan anak,” katanya dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (17/10).
Ia menjelaskan program tablet tambah darah untuk ibu hamil yang sudah dilakukan sejak tahun 2013 belum efektif sehingga masih menyebabkan tingginya angka stunting.
“Meski berdasarkan profil kesehatan nasional tahun 2013-2016 cakupan tablet tambah darah selalu 90 persen, pada tahun 2018 anemia (kurang darah merah) tidak turun, melainkan naik dari 30 persen menjadi lebih dari 40 persen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa satu di antara dua ibu hamil di Indonesia ini menderita anemia,” ucapnya.
Ia menjelaskan cakupan 90 persen itu dihitung hanya berdasarkan per tablet yang dikonsumsi oleh ibu hamil. Sedangkan tablet tambah darah tersebut baru ada manfaatnya setelah dikonsumsi minimal 90 tablet.
“Ternyata itu (ibu hamil yang mengkonsumsi minimal 90 tablet) cuma 7,9 persen,” katanya.
Permasalahan kedua, lanjutnya, pada monitoring dan evaluasi (monev) percepatan penurunan stunting yakni adanya keterbatasan data dan sistem informasi. Ketiga, masih kurangnya kapasitas tim monev, karena tim yang kurang berpengalaman atau tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang metode dan instrumen penelitian dapat memengaruhi validitas dan kehandalan hasil evaluasi.
Keempat yakni tantangan dalam mengukur dampak jangka panjang. Ini menjadi soal besar karena stunting dapat menimbulkan efek jangka panjang bagi perkembangan anak ketika ia beranjak dewasa.
“Mengukur dampak jangka panjang seperti ini bisa menjadi tantangan, karena melibatkan banyak faktor yang kompleks, seperti pola makan, sanitasi, pendidikan, dan faktor sosial ekonomi,” paparnya.
Kelima, masih kurangnya keterlibatan pemangku kepentingan seperti pemerintah daerah, lembaga akademik, dan tokoh masyarakat setempat, yang sebetulnya dapat memberikan wawasan berharga dan pemahaman yang lebih baik tentang implementasi program.
“Keenam adalah koordinasi dan tata kelola yang lemah, juga kurangnya koordinasi lintas sektor dan lembaga terkait dalam pelaksanaan program, yang dapat menjadi kendala dalam monev,” ucapnya.
Ia berharap melalui program percepatan penurunan stunting yang kini telah menjadi tanggung jawab seluruh sektor pemerintahan dan pemangku kepentingan, keenam hal tersebut dapat menjadi perhatian.
“Keenam hal tersebut dapat menjadi perhatian dan menjadi evaluasi bersama untuk memastikan efektivitas dan transparansi dalam pelaksanaan program percepatan penurunan stunting,” tuturnya. (ANT)