POLITIK

Minta Lebih dari 2 Capres, PDIP: Itu Jadi Beban Rakyat

KABAR KALIMANTAN 1, Jakarta – Gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold 20% terus mengalir. Banyak yang ingin Pilpres diikuti banyak Capres, tapi PDIP menganggap hal itu justru jadi beban rakyat.

Presidential threshold merupakan ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden.

Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hasto Kristiyanto, mengatakan bahwa jumlah ideal capres-cawapres di Pilpres adalah dua pasang.

Menurutnya, semakin banyak pasangan capres-cawapres yang berkontestasi akan membuka ruang Pilpres 2024 berlangsung dua putaran dan menambah beban rakyat untuk memikul biaya penyelenggaraan.

“Semakin banyak calon akan membuka ruang pilpres dua tahap. Artinya, itu jadi beban rakyat, sebab harus memikul biaya-biaya pemilu itu. Idealnya, dua paslon saja,” kata Hasto, Senin (20/12/2021).

Hasto menyatakan, pihaknya ingin penyelenggaraan pemilu bisa membangun stabilitas politik. Menurutnya, pemilu tidak boleh sampai memecah belah bangsa.

Gugatan Gatot

Kali ini, ketentuan tersebut digugat oleh Mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. Ia meminta MK menghapus ketentuan presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Pasal tersebut menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Oleh Gatot, Pasal 222 UU Nomor 7/2017 dinilai bertentangan dengan Pasal 6 Ayat (2), 6A Ayat (5), dan 6A Ayat (2) UUD 1945.

“Karena telah mengakibatkan pemohon kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon pemimpin bangsa (presiden dan wakil presiden) yang dihasilkan partai politik peserta pemilihan umum,” tulis Kuasa Hukum Gatot, Refly Harun, dalam surat permohonan seperti dikutip Kompas.com, Selasa (14/12/2021).

Presidential threshold berpotensi mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan.

Selalu Ditolak MK

Sejatinya, bukan sekali ini saja ketentuan tentang presidential threshold digugat. Ketentuan ambang batas pencalonan presiden pernah ramai-ramai digugat ke MK dan telah berulang kali ditolak.

Pada September 2020, mantan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli juga mengajukan permohonan uji materi presidential threshold ke MK.

Rizal kala itu meminta supaya ambang batas presiden dihilangkan dan Mahkamah menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi.

Rizal berpandangan bahwa keberadaan presidential threshold telah mengabaikan prinsip perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dengan ketentuan itu, tak semua warga negara bisa mencalonkan diri sebagai presiden.

Pencalonan presiden hanya dapat dilakukan melalui partai politik yang punya suara besar. Hal ini dinilai pemohon sebagai upaya partai besar untuk menghilangkan pesaing dalam Pilpres.

Gugatan itu diputuskan MK pada pertengahan Januari 2021. MK memutuskan menolak gugatan Rizal karena dinilai tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.

Dalam persidangan yang digelar Kamis (14/1/2021), Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan, Rizal tidak memberikan bukti bahwa dia pernah pernah dicalonkan sebagai presiden oleh partai politik.

Jelang Pilpres 2019, ketentuan tentang presidential threshold juga pernah ramai-ramai digugat ke MK.

Setidaknya, ada 12 orang yang menjadi pemohon dalam gugatan tersebut yakni mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M. Busyro Muqoddas, mantan Menteri Keuangan M. Chatib Basri, akademisi Faisal Basri, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hadar Nafis Gumay.

Mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, akademisi Rocky Gerung, Akademisi Robertus Robet, Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari, Sutradara Film Angga Dwimas Sasongko.

Selain itu, ada pula Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, dan profesional Hasan Yahya.

Sama seperti gugatan Gatot dan Rizal Ramli, 12 pemohon ini juga menggugat Pasal 222 UU Pemilu sebab bertentangan dengan sejumlah ketentuan UUD.

Ketentuan itu dinilai berpotensi menghadirkan capres tunggal yang berarti menghapus esensi pemilihan presiden. Namun, MK juga menolak gugatan sebab dinilai tidak beralasan menurut hukum.

“UUD 1945 tidak membatasi warga negara untuk mendirikan partai politik sepanjang syarat untuk itu terpenuhi sebagaimana diatur dalam undang-undang,” kata Ketua Majelis Hakim Anwar Usman dalam persidangan, 25 Oktober 2018.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Most Popular

To Top
error: Content is protected !!