KABARKALIMANTAN1, Jakarta – Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Indonesian Corruption Watch (IPW), serta pakar hukum dan masyarakat luas kecewa atas keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang memberikan pembebasan bersyarat kepada 23 narapidana kasus korupsi. Ironisnya, DPR selaku wakil rakyat, justru “membela” Kemenkumham.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemenkumham telah membebaskan 23 narapidana kasus korupsi secara bersyarat. Mereka di antaranya ialah eks Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, eks Menteri Agama, Suryadharma Ali, eks Gubernur Jambi, Zumi Zola, eks Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar, hingga eks Jaksa, Pinangki Sirna Malasari.
Napi korupsi itu dibebaskan pada 6 September 2022 dari Lapas Kelas IIA Tangerang, Banten dan Lapas Kelas I Sukamiskin, Bandung. Acuannya, Pasal 10 UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang resmi berlaku sejak 3 Agustus 2022. Isinya, narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali, diberikan sejumlah hak, salah satunya pembebasan bersyarat.
“MAKI kecewa dengan banyaknya remisi dan bebas bersyarat untuk napi koruptor. Ini jadi pesan kepada masyarakat bahwa korupsi tidak berefek hukum yang menakutkan. Pesan efek jera tidak sampai karena hukuman sudah ringan, lalu dapat keringanan-keringanan, bahkan bebas bersyarat yang sebelumnya dipotong remisi,” ujar Koordinator MAKI, Saiman Boyamin, Jumat.
Menurut Boyamin, pembuat peraturan atau kebijakan saat ini tidak lagi mempunyai persepsi yang baik terhadap korupsi. “Ke depan harusnya hakim nanti memberikan hukuman yang tinggi dan sekaligus pencabutan hak. Bukan hanya hak politik, tapi hak untuk mendapatkan pengurangan hukuman. Ini sudah berlaku di Amerika,” tutur Boyamin.
“Banyak kasus yang profil tinggi dicabut haknya untuk mendapat pengurangan hukuman. Ini dimungkinkan di KUHP, selain pidana badan, ada pencabutan hak. Ini harus kita dorong,” imbuh dia.
Hal senada disuarakan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menilai pembebasan bersyarat 23 narapidana kasus korupsi dilakukan secara terstruktur, melibatkan Kemenkumham, Mahkamah Konstitusi (MK), hingga Mahkamah Agung (MA).
Kebijakan Terstruktur
“Sifatnya sudah terstruktur, artinya memang sudah dikondisikan sampai akhirnya ada revisi UU dan akhirnya hari ini salah satu buahnya kita tuai, di mana 23 napi korupsi bisa dapat pembebasan bersyarat tanpa syarat yang dikhususkan,” kata Peneliti ICW, Lalola Ester, dalam sebuah webinar, Rabu lalu.
Menurut Lalola, sebelum ada revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang menjadi dasar pemberian pembebasan bersyarat, MK dan MA membatalkan sejumlah aturan yang memperketat pemberian remisi hingga pembebasan bersyarat kepada napi korupsi.
Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menyebut pembebasan 23 napi korupsi itu merupakan konsekuensi logis dari pembatalan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, narkotika, terorisme dan lainnya.
“Pembatalan regulasi itu oleh Mahkamah Agung (MA) telah membuat korupsi tak lagi dikategorikan kejahatan luar biasa alias extraordinary crime, sehingga pelakunya bisa mendapatkan remisi seperti pelaku tindak pidana lainnya.
Dulu memang ada pengetatan, lalu terjadilah seperti sekarang. Pertanyaannya, apakah kita ingin memperlakukan pelaku korupsi sama dengan pelaku tindak pidana lainnya?” sentil Agustinus.
Ironisnya, Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto (PDIP), justru membela keputusan Kemenkumham. “Keputusan Kemenkumham telah sesuai dengan undang-undang. Bukan tidak adil. Tapi kan tidak ada tindakan menteri yang suka-suka dirinya. Semua diatur perundangan. Intinya itu,” kata Bambang kepada wartawan.
Jika wakil rakyat tidak kritis dan malah mendukung kebijakan yang buruk, terutama berkaitan kasus korupsi, dari mana lagi perbaikan negeri ini dimulai? Apalagi pengambil kebijakan hokum tertinggi seperti MK dan MA, telah satu suara dalam menelorkan kebijakan yang menyakiti hati rakyat, merugikan negara.