KABARKALIMANTAN1, Sampit – Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah menanggulangi pengangguran di daerahnya melalui berbagai program kerja, di antaranya pelatihan kerja dan mengedukasi masyarakat.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Johny Tangkere di Sampit, Selasa (21/11), mengatakan, pihaknya mencatat ada 10.790 pengangguran di wilayah setempat.
“Jumlah tersebut terbilang cukup tinggi mengingat ada banyak perusahaan besar swasta yang beroperasi di Kotawaringin Timur,” katanya.
Upaya yang dilakukan Disnakertrans adalah rutin menggelar pelatihan kerja setiap tahun sebagai upaya pengentasan pengangguran dengan memberikan bekal berupa keterampilan atau keahlian khusus, seperti otomotif, menjahit, tata boga dan lain-lain.
Selain itu mengedukasi masyarakat khususnya generasi muda agar memiliki semangat dalam bekerja dan tidak selalu melihat peluang yang tersedia di wilayah perkotaan, namun juga di daerah misalnya sektor perkebunan maupun lainnya.
Dia menyampaikan, jumlah pengangguran itu berdasarkan data akhir tahun lalu, karena pendataan tersebut dilakukan setahun sekali.
Johny menyebut jumlah penduduk usia kerja (PUK) di Kotim ada 350.802 orang, meliputi kelompok angkatan kerja (AK) 215.626 orang atau 61,47 persen dan bukan angkatan kerja (BAK) 135.176 atau 38,53 persen.
Kelompok BAK tersebut terbagi menjadi 3 kelompok, yakni kalangan pelajar atau sekolah sebanyak 23.774 orang atau 17,59 persen, mengurus rumah tangga (MRT) 99.188 orang atau 73,38 persen, dan lain-lain 12.214 orang atau 9,04 persen. Sementara itu, kelompok AK terdiri dari pekerja 204.836 orang atau 95 persen dan pengangguran 10.790 orang atau 5 persen.
Pengangguran pun kemudian dibedakan berdasarkan jenjang pendidikannya, antara lain SD ke bawah 5,71 persen, SMP 2,12 persen, SMA 9,24 persen, SMK 9,76 persen, Diploma atau Perguruan Tinggi 0 persen, dan Universitas 1,6 persen.
Menariknya, jika tingginya angka pengangguran kerap disandingkan dengan minimnya lapangan pekerjaan, tetapi tidak demikian di Kotim. Menurut Johny, selain standar pendidikan dan keahlian yang menjadi kendala, pencari kerja di Kotim cenderung pilih-pilih terhadap jenis pekerjaan.
“Kalau bicara soal lapangan pekerjaan di wilayah kita ini sebenarnya ada banyak, contohnya di sektor perkebunan itu mencari orang sampai ribuan, tinggal kita saja yang mau atau tidak,” ujarnya.
Ia menjelaskan, untuk pengangguran dengan jenjang pendidikan terbilang rendah seperti SD ke bawah, peluang untuk mencari pekerjaan kemungkinan terhalang standar pendidikan yang ditetapkan pihak yang memberi pekerjaan.
Sementara itu untuk pengangguran dengan jenjang pendidikan SMA ke atas, menurutnya karena yang bersangkutan cenderung pilih-pilih dengan pekerjaan.
Disebutkan, bahwa kebanyakan anak muda zaman sekarang, cenderung lebih suka mencari pekerjaan di kota ketimbang bekerja di perkebunan.
Gaya hidup dan hiruk pikuk perkotaan membuat anak-anak muda enggan untuk bekerja di perusahaan perkebunan yang terkesan sepi dan identik dengan pekerjaan kasar.
“Semua itu kan butuh proses. Kalau di kebun itu justru ada karir yang bisa dikejar asalkan kita bekerja keras dan tekun, gaji pun memadai untuk misalnya membangun keluarga,” imbuhnya.
Kondisi demikian lah yang disayangkan olehnya. Menurutnya, para generasi muda perlu didorong untuk mau bekerja di bidang perkebunan, karena dengan demikian angka pengangguran di Kotim pun niscaya bisa lebih ditekan.
Begitu pula para tenaga kontrak. Johny berharap para tenaga kontrak tidak menjadikan pekerjaan di pemerintahan sebagai pekerjaan pokok, melainkan sebagai batu loncatan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Apalagi, ada wacana penghapusan tenaga kontrak dari pemerintah pusat.
“Yang masih muda ini seharusnya bisa mencari pekerjaan yang lebih menantang agar bisa membangun masa depan lebih baik. Cari lah pekerjaan yang memiliki jenjang karir sehingga bisa maju kedepannya,” demikian Johny. (ANT)