KABARKALIMANTAN1, Jakarta – Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Saldi Isra resmi terpilih sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2023-2028. Pekan ini, beredar isu negatif, yang perlu dijawab Anwar Usman sendiri.
Isu itu menyebutkan, Anwar Usman yang juga adik ipar Presiden Joko Widodo, bakal membela kepentingan partai penguasa. Keterpilihan Anwar-Saldi dilakukan melalui pemungutan suara dalam Rapat Permusyawakatan Hakim (RPH) pada Rabu (15/3/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pemilihan itu berlangsung ketat, hingga 2 putaran. Sempat kalah, di putaran kedua Anwar Usman dinyatakan sebagai pemenang. Terpilihnya Anwar diduga kuat terkait dengan rencana pengambilan keputusan soal sistem Pemilu proporsional tertutup yang didukung PDIP, tapi ditolak semua fraksi, bahkan yang tergabung dalam gerbong rezim Jokowi.
“Ya tak bisa disalahkan kalau ada yang berpikir menangnya Anwar Usman, tak lepas dari tujuan dan kebutuhan partai atau rezim penguasa. Apalagi kita tahu, Anwar Usman ini adik ipar Jokowi,” ujar Sukirman Purwoatmojo, pengurus Garnies Bogor, Jumat (17/3/2023).
“Yang saya dengar dari sumber A1, memang MK akan memenangkan sistem pemilu proporsional tertutup. Karena itu, mereka ngotot agar Ketua MK harus orang yang bisa memastikan hal tersebut,” ujar sumber redaksi dari partai baru, yang diajak bergabung ke pemerintahan.
Seperti diketahui, Anwar Usman resmi menjadi adik ipar presiden usai menikah dengan saudari perempuan Jokowi, Idayati. Pernikahan digelar di Graha Saba Buana, Solo, Kamis (26/5/2022).
Sebelumnya, Jokowi berjanji keluarganya tak ingin terlibat di pentas politik. Namun kini anak, menantu, dan kini ipar masuk ke ranah yang bersentuhan dengan politik, langsung maupun tidak langsung.
Namun sumber tadi menyebut, di MK sendiri mayoritas condong memenangkan sistem Pemilu proporsional terbuka, mengingat itu diinginkan mayoritas partai dan masyarakat.
Di laman resmi MK bahkan Kamis (16/3) terpampang berita dengan judul, “Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Membuat Caleg Setia Kepada Parpol dan Pemilih.”
Dalam sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia terutama untuk pencalonan anggota legislatif baik itu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota, otoritas penuh untuk pencalonan anggota legislatif itu seratus persen ada di keputusan politik.
Jadi, partai politiklah yang mempunyai kewenangan penuh untuk menentukan apakah seorang calon anggota legislatif itu dapat dicalonkan atau tidak.
Alasan Pemohon yang menyatakan dalam sistem proporsional terbuka yang dicalonkan adalah orang-orang yang popular, tidak punya pengalaman mengelola organisasi partai politik, justru seharusnya para Pemohon yang menjadi kader politik, mempertanyakan hal tersebut kepada partai politiknya.
Hal tersebut disampaikan oleh Fadli Ramadhanil, kuasa hukum Perludem selaku Pihak Terkait dalam sidang Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 yang digelar pada Kamis (16/3/2023) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi.
Permohonan perkara pengujian Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ini diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus PDI Perjuangan), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Sidang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi 8 Hakim Konstitusi. Agenda sidang yaitu mendengarkan keterangan Pihak Terkait Perludem dan Pihak Terkait Jansen Sitindaon.
Lebih lanjut Fadli mengatakan, argumentasi pemohon yang menyatakan dengan sistem pemilu proporsional daftar terbuka membuat anggota legislatif terpilih dan duduk di lembaga perwakilan menjadi bekerja untuk dirinya sendiri dan tidak lagi sesuai partai politik, menurut Pihak Terkait tidak tepat.
Hubungan Psikologis
Politisi Partai Demokrat Jansen Sitindaon dalam persidangan mengatakan para Pemohon berdalih pemilu berbiaya mahal menyebabkan anggota dewan yang terpilih melakukan korupsi. Soal prilaku koruptif elit politik itu tidak ada kaitannya dengan sistem Pemilu proporsional terbuka.
“Mau sistem apapun untuk pemilu, baik terbuka atau tertutup, tetap terbukanya politik uang itu,” kata Jansen. ”Terkait money politics sudah ada ancaman pidananya. Caleg bisa digugurkan jika terbukti menggunakan uang untuk mendapatkan suara.”
Selanjutnya Jansen menanggapi dalil para Pemohon yang menganggap sistem proporsional terbuka sebagai pemborosan anggaran negara. “Ini menunjukkan para Pemohon tidak memahami bahwa demokrasi memang berbiaya mahal. Tujuannya, mendapatkan perwakilan yang akuntabel dan demokratis. Ada tanggung jawab anggota dewan kepada pemilihnya, selalu merawat daerah pemilihannya.”
Berbeda dengan sistem proporsional tertutup yang menyebabkan tidak ada hubungan psikologis antara anggota dewan dengan pemilihnya. Pemimpin dan pengurus teras partai pun bisa jauh lebih otoriter.
