KABARKALIMANTAN1, Dili – Sebuah kabar mengejutkan datang dari Vatikan dan Timor Leste. Dikonfirmasi, Carlos Felipe Ximenes Belo atau Uskup Belo telah berada di bawah sanksi disiplin selama 2 tahun terakhir oleh Vatikan, menyusul tuduhan pelecehan seksual yang dilakukan ketika dia berada di Timor Timur pada 1990-an.
Al Jazeera merilis pengakuan Vatikan pada (30/9/2022). Sebelumnya majalah Belanda De Groene Amsterdammer mengungkap klaim terhadap uskup yang dihormati itu. Laporan mereka mengutip 2 anak laki-laki korban Belo. Jumlah korban diyakini bisa lebih sebab durasi Belo selama di Timor Leste cukup lama.
“Kantor Vatikan yang menangani kasus pelecehan seks menerima tuduhan tentang perilaku uskup pada 2019. Ia dikenai sanksi disiplin berupa pembatasan pergerakan dan pelaksanaan pelayanan Belo. Dia juga dilarang melakukan kontak sukarela dengan anak di bawah umur atau kontak dengan Timor Lorosa’e,” ujar Matteo Bruni, Juru Bicara Vatikan, seperti dilansir Al Jazeera.
Bruni menambahkan, sanksi itu “dimodifikasi dan diperkuat” pada November 2021. Belo disebut telah secara resmi menerima hukuman pada kedua kesempatan tersebut.
Vatikan tidak memberikan penjelasan mengapa Belo mengundurkan diri sebagai kepala Gereja Katolik Roma di Timor Timur pada 2002 dan dikirim ke Mozambik, di mana ia diizinkan untuk bekerja dengan anak-anak.
Laporan skandal pelecehan seksual Belo mengejutkan seluruh Timor Timur. Ia dianggap sebagai pahlawan di negara tersebut karena berjuang untuk memenangkan kemerdekaan Timor Timur dari kekuasaan Indonesia.
Karena perjuangannya, dia dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada 1996. Belo memenangkan penghargaan dengan sesama ikon kemerdekaan Timor Timur dan Presiden petahana, Jose Ramos-Horta.
“Kami di sini juga terkejut mendengar berita ini,” kata seorang pejabat di Keuskupan Agung Dili, Kamis (29/9) kepada kantor berita The Associated Press dengan syarat anonim. “Sanksi disiplin kami kira tak cukup, karena itu kasus kriiminal.”
Belo adalah seorang imam Salesian Don Bosco (SDB), sebuah ordo religius Katolik Roma yang memiliki pengaruh di Vatikan. Salesian Portugis mengaku mereka sangat sedih dan tercengang dengan berita tersebut.
Hasil investigasi De Groene Amsterdammer menunjukkan bahwa Uskup Belo juga melecehkan anak laki-laki pada 1980-an, saat dia bekerja di sebuah pusat pendidikan SDB.
Dibayar Rp5-Rp50 Ribu
Kasus pelecehan dan pencabulan anak di lingkungan gereja juga tengah ramai di Nusa Tenggara Timur (NTT). Belum juga tuntas kasus pencabulan terhadap 14 gadis di Kabupaten Alor, oleh tersangka seorang calon pendeta, kasus serupa terjadi lagi.
Pelaku berinisial KADJ alias Tian (57), warga Teluk Mutiara, seorang koster pada salah satu gereja di Kota Kalabahi, Alor. Korban SAP (13), siswi SMP yang juga tetangga pelaku. Tersangka melakukan pencabulan berulang kali sejak 28 Juli hingga 10 Agustus 2022.
“Korban dicabuli setiap dini hari sekitar pukul 04.00 Wita di belakang rumah tersangka. Merasa tertekan dicabuli terus, korban mengadu kepada orangtuanya, hingga melaporkan KADJ ke Polres Alor. Korban mengaku diberi uang Rp5.000-Rp50.000 tiap kali habis dicabuli,” ujar AKBP Ari Satmoko, Kapolres Alor.
KADJ dijerat pasal 82 ayat (1) jo pasal 76E Undang-undang RI No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak tentang perlindungan anak menjadi Undang-undang jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana, dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.
Sebelumnya, kasus pencabulan dilakukan terhadap 14 anak di rentang usia 13-16 tahun yang merupakan jemaat di Gereja GMIT Siloam Nailang, juga di Kabupaten Alor. Pelakunya SAS seorang calon pendeta. Namun SAS juga dijerat ancaman ganda berupa tambahan pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Soalnya pelaku juga mengirimkan foto dia dengan menunjukkan alat vitalnya. Itu dikirim tersangka melalui inbox, kepada 2 korban,” kata Ari Satmoko di hari yang sama dengan kasus KADJ.
Perbuatan bejat tersangka itu dilakukan dalam kurun waktu setahun, Mei 2021-Mei 2022. Tersangka dijerat pasal berlapis yakni pasal Pasal 81 ayat 5 Juncto pasal 76D UU Perlindungan Anak juncto pasal 65 ayat 1 KUH Pidana.
Ancamannya: hukuman mati, seumur hidup, atau maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara. Dalam jerat UU ITE pelaku diancam hukuman pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Pemerintah diminta mencari solusi guna menekan maraknya kasus serupa di wilayah keagamaan, termasuk di lingkungan gereja maupun pesantren.
