KABARKALIMANTAN1, Jakarta – Kasus menyedihkan dialami MF (10), seorang siswi Sekolah Dasar (SD) di Samarinda, Kalimantan Timur. Ia diusir guru dari ruang kelas saat hendak mengikuti ujian. Alasannya, MF tak punya ponsel atau handphone (HP) serta seragam sekolah.
Peristiwa tersebut terjadi pada Selasa, 28 Mei 2022. Begitu mendpat laporan, Ketua Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC-PPA), Rina Zainun, segera bergerak.
Ia menjelaskan, persoalan tersebut sudah mendapat atensi dari Dinas Pendidikan (Disdik) Samarinda. Saat ini pihaknya sedang berusaha mediasi dengan pihak sekolah.
“Anak ini disuruh pulang oleh gurunya dengan nada tidak enak, karena dia tidak ikut pembelajaran selama setahun. Penyebabnya, ia tak punya handphone dan seragam sekolah,” ujar Rina, Jumat (3/6/2022).
Tak hanya itu, ketika MF diusir dari sekolah, sejumlah murid dalam kelas ikut melakukan perundungan. Dia dilempar kertas dan buku. Tindakan inilah yang membuat TRC-PPA berang.
Tak seharusnya guru mengusir siswa hanya karena persoalan ponsel. Usai aksi tersebut, MF ditemukan menangis di pinggir jalan oleh Kadir Jailani, seorang sukarelawan. “Dia-lah yang membantu MF untuk mengonfirmasi pihak sekolah,” tuturnya.
TRC-PPA yang mendapatkan informasi tersebut langsung ikut membantu mediasi. Ironisnya, MF ini merupakan anak piatu. Ibunya sudah tiada sejak ia berumur 3 tahun, sementara ayahnya sedang mendekam di penjara. Sepanjang Covid-19 melanda Samarinda, MF tak sekolah daring karena terbatasnya ekonomi dan akses informasi.
“Anak ini dirawat oleh bibinya, yang merupakan keluarga tidak mampu. Tidak bisa membelikan handphone dan seragam untuk mengikuti pembelajaran sekolah,” terangnya.
Minta Maaf
Dikonfirmasi terpisah, Kadisdik Samarinda Asli Nuryadin mengatakan pihaknya telah memanggil kepala sekolah dan guru yang melakukan pengusiran terhadap MF.
“Saya sudah mendengarkan cerita mereka. Kami juga intropeksi diri, dan kami meminta maaf,” tuturnya.
Pihaknya pun berjanji akan memfasilitasi MF sehingga dia bisa mengikuti proses belajar dengan baik. Asli berharap, peristiwa tersebut tak terjadi di sekolah-sekolah lain di Samarinda. Dan meminta guru-guru pengajar untuk dapat menjaga perkataan serta emosi dengan murid-muridnya.
“Saya sendiri sebagai kepala dinas kalau menjadi guru, pasti minta maaf bila ada melakukan kesalahan,” pungkasnya.
Dari kasus ini kita bisa membaca, bahwa buruknya kepekaan sosial guru, menurun kepada murid-muridnya. Kasus ini berpotensi terjadi di daerah lain jika Diknas tak bisa mencermati hal ini.
