KABAR KALIMANTAN 1, Jakarta – Puluhan warga (didominasi wanita) dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual, mendesak DPR RI agar segera mengesahkan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR di awal 2022.
Menurut mereka, nasib Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual itu kini kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya.
Akhirnya, mereka menggelar unjuk rasa di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta pada Rabu (22/12/2021) atau pas dengan peringatan Hari Ibu.
RUU TPKS gagal disahkan menjadi RUU inisiatif DPR RI pada 2021 ini. Hal itu terjadi lantaran Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR tidak mengagendakan pembahasan RUU tersebut untuk dibawa ke Rapat Paripurna DPR terakhir di 2021 yang berlangsung pada Kamis (16/12).
Sebagai informasi, itu adalah rapat paripurna terakhir di 2021 karena DPR akan melakoni reses per 17 Desember 2021 hingga 10 Januari 2022.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyebut RUU TPKS gagal dibawa ke Rapat Paripurna terakhir di 2021 bukan karena tak disepakati, melainkan semata-mata telah melewati batas waktu rapat pimpinan dan Bamus DPR.
“Masalah teknisnya itu adalah ketika kita Rapim dan Bamus, UU belum selesai dibahas di tingkat 1,” ujar Dasco.
Tak Bisa Ditoleransi
Para wanita itu membawa simbol berupa pakaian perempuan korban-korban kekerasan seksual. Langkah ini dilakukan agar masyarakat luas, DPR, dan pemerintah mengetahui kondisi genting kekerasan seksual di Indonesia.
“Kekerasan seksual di Indonesia saat ini sudah tidak bisa ditoleransi lagi, Indonesia dalam status darurat kekerasan seksual,” kata perwakilan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Mutiara Ika Pratiwi, di sela-sela unjuk rasa.
Menurut Ika, sesuai data yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tercatat ada 2.693 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam kurun waktu 1 Januari hingga 9 Desember 2021, di mana 73,7 persen di antaranya merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Salah satu kasus paling heboh, penyiksaan istri siri (kontrak) di Cianjur oleh pria warga negara Arab Saudi. Wanita muda berparas cantik itu dihajar, diikat, dipaksa minum air keras, sekaligus diguyur ke badan korban, hingga tewas.
Sedangkan kekerasan terhadap anak berjumlah 10.832 kasus, didominasi oleh kasus kekerasan seksual yaitu sebanyak 59,7 persen atau lebih dari separuhnya.
Ika mengatakan kasus kekerasan seksual yang semakin marak terjadi menandakan ruang aman bagi perempuan semakin sempit, termasuk di dunia pendidikan maupun di institusi keagamaan.
Kemendikbud merilis data pada Kamis (25/11/2021). Isinya, pada tahun 2020 juga menyebutkan bahwa sebanyak 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus.
Dari fakta dan peristiwa di atas sudah cukup menggambarkan betapa perempuan, anak perempuan dan juga laki-laki sangat tidak terlindung secara hukum.
“Sudah saatnya DPR dan pemerintah mengesahkan RUU TPKS untuk melindungi masyarakat dari kekerasan seksual dan menjauhkannya dari kriminalisasi atas kekerasan seksual yang dialaminya,” sambung Ika.
Dalam orasi unjuk rasanya, sejumlah poin disampaikan, antara lain:
Pertama, mendesak Badan Musyawarah (Banus) DPR segera mengagendakan dan mengajukan RUU TPKS kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya melimpahkan pembahasan RUU TPKS ke Badan Legislatif DPR.
Kedua, menagih janji dan mendesak pimpinan DPR mengesahkan RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR pada Sidang Paripuma pembukaan masa sidang 2022, 13 Januari 2022.
Ketiga, mendesak evaluasi dilakukan terhadap Bamus sebagai alat kelengkapan DPR supaya melakukan kerja-kerja yang efektif dan transparan.
Keempat, meminta publik dan media mendukung pengesahan RUU TPKS media serta memberikan dukungan berupa konten di media dan kampanye pengesahan undang-undang tersebut.