Palangka Raya

Novia Ungkap Akar Masalah Masyarakat Adat

KABAR KALIMANTAN1, Palangka Raya – Aktivis perempuan Kalimantan Tengah (Kalteng), Novia Adventy Juran, mengungkapkan fakta terkait masyarakat adat. Ia menyebut faktor politik dan hukum menjadi akar masalah masyarakat adat di Kalteng khususnya, dan di Indonesia pada umumnya.

Memang betul bahwa Undang-Undang Dasar mengakui masyarakat adat, tetapi tafsir dari hukum tersebut dilakukan secara teknokratis dan politis. “Itulah sebabnya banyak sekali undang-undang di bawah UUD membuat tafsiran yang berbeda-beda tentang masyarakat adat,” jelas wanita pendiri Forum Pemuda Kalteng tersebut, Selasa (10/8/2021).

Dalam hal pembuktian, masyarakat adat diberikan beban yang sangat berat dikarenakan kewenangan untuk mengakui itu di luar otoritas masyarakat adat itu sendiri. Fakta kontekstual, masyarakat adat mengalami museumnisasi. “Keberadaan mereka hanya diperhatikan hanya pada saat-saat tertentu, semisal menyambut tamu, atau acara-acara yang sifatnya seremonial belaka,” lanjutnya.

Kompleksitas masyakarat dihadapkan pada tiga tantangan yakni, transformasi dari dalam masyarakat adat, serta penyesuaian kelola masyarakat adat yang terpengaruhi situasi dan kondisi eksternal. Satu lagi, mengelola interaksi antara masyarakat adat dengan negara.

“Sering sekali terjadi, pelemahan terhadap masyarakat adat itu dilakukan dengan memecah-belah sesama mereka dengan janji perusahan, lapangan kerja dan lain sebagainya,” jelas Novia.

Banyak Regulasi

Secara konstitusional negera berkewajiban untuk mengakui dan menghormati masyarakat adat. Masyarakat adat itu masih hidup dan tidak bertentangan dengan NKRI. Justru NKRI tanpa masyarakat adat bukanlah NKRI. Menurut Novia, permasalahan masyarakat adat bukanlah permasalahan konstitusi, melainkan permasalahan politik.

Ada banyak regulasi yang dilahirkan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Karena itu, diperlukan adanya kekuatan dari masyarakat sipil, mahasiswa, dan dari masyarakat adat sendiri, agar regulasi itu berjalan dengan benar.

Para pemangku jabatan perlu mendengarkan aspirasi masyarakat adat. Bukan hanya mendeklarasikan tidak adanya hutan adat. Namun, lebih daripada realitas eksistensi masyarakat adat dan hutan adat menjadi sebuah kajian dan perhatian bersama. (TVA)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Most Popular

To Top