KABAR KALIMANTAN1, Jakarta – Mahkamah Konstitusi menghapus larangan pemantau pemilu melakukan kegiatan lain selain yang berkaitan dengan pemantauan pemilihan dalam Pasal 128 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa pasal tersebut mengandung norma yang multitafsir sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Maka dari itu, MK menyatakan Pasal 128 huruf k UU Pilkada inkonstitusional dan tidak lagi berlaku.
“Menyatakan Pasal 128 huruf k UU 1/2015 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 91/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK RI, Jakarta, Kamis (3/7).
Pemohon dalam perkara ini adalah Ketua Dewan Pimpinan Daerah Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (LPRI) Kalimantan Selatan Syarifah Hayana. Ia mempersoalkan konstitusionalitas frasa “kegiatan lain” dalam Pasal 128 huruf k UU Pilkada.
Adapun bunyi lengkap dari pasal dimaksud, yakni “Lembaga pemantau pemilihan dilarang: melakukan kegiatan lain selain yang berkaitan dengan pemantauan pemilihan.”
Menurut Mahkamah, frasa “kegiatan lain” dalam norma pasal diuji merupakan bentuk frasa terbuka (open-ended clause) yang tidak mendefinisikan secara tegas apa saja yang termasuk ataupun dikecualikan.
Akibatnya, frasa tersebut memberikan keleluasaan bagi aparat penegak hukum untuk menafsirkan segala bentuk kegiatan lembaga pemantau sebagai “kegiatan lain” yang dilarang, tanpa adanya rambu-rambu hukum sebagai pembatas.
“Rumusan norma yang bersifat terbuka dan menimbulkan multitafsir semacam itu cenderung merupakan pasal ‘keranjang sampah’, ‘mulur mungkret‘, atau ‘pasal karet’ yang memiliki dimensi hukum yang berbeda,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan hukum.
Padahal, dalam hukum pidana dan hukum administrasi yang berkonsekuensi terhadap sanksi, rumusan norma larangan seperti pada Pasal 128 huruf k UU Pilkada itu mesti dibatasi oleh prinsip-prinsip kepastian hukum yang adil.
MK pun menilai Pasal 128 huruf k UU Pemilu berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak adanya penjelasan terhadap norma pasal dimaksud. Pada bagian penjelasan, pasal tersebut hanya dibubuhi keterangan “cukup jelas”.
Menurut Mahkamah, formulasi semacam itu menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dijamin konstitusi. Padahal, keberadaan penjelasan sejatinya merupakan sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh.
“Dengan formulasi demikian, pembentuk undang-undang secara tidak langsung menyerahkan sepenuhnya tafsir atas batasan norma kepada aparat penegak hukum. Kondisi demikian tidak hanya menciptakan ruang bagi penyalahgunaan kewenangan, tetapi juga bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis,” kata Arief.
MK menegaskan bahwa seharusnya lembaga pemantau dapat menjadi motor penggerak demokrasi yang sehat dalam proses pemilihan, terutama dalam hal pemilihan dengan satu pasangan calon.
Lembaga pemantau, tutur Arief, didirikan untuk melakukan pengawasan dengan mengedepankan sifat jujur dan adil. Jika hasil pemantauan mendapati adanya kekeliruan ataupun kecurangan yang memengaruhi hasil pemilihan, lembaga pemantau bisa berperan sebagai wali dari kotak kosong untuk mengajukan gugatan ke MK.
Syarifah Hayana mengajukan permohonan ini karena menilai keberlakuan Pasal 128 huruf k UU Pilkada menyebabkan dirinya mengalami kerugian konstitusional yang aktual.
Dalam berkas permohonan disebutkan bahwa akreditasi LPRI Kalsel pada pemungutan suara ulang Pilkada Kota Banjarbaru 2024 dicabut oleh KPU Provinsi Kalsel setelah adanya publikasi berita hasil hitung cepat PSU Banjarbaru yang dilakukan internal DPD LPRI Kalsel.
Hasil penghitungan PSU Pilkada Kota Banjarbaru versi DPD LPRI Kalsel dimenangkan oleh kotak kosong dengan 54 persen suara. DPD LPRI Kalsel menyebut penghitungan itu untuk kepentingan internal dan salah satu bagian dari pelaksanaan tugas pemantauan.
Bawaslu Kalsel meneruskan permasalahan tersebut ke Polres Banjarbaru yang kemudian menetapkan Syarifah Hayana selaku Ketua DPD LPRI Kalsel sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana pemilu.
DPD LPRI Kalsel dinilai melanggar Pasal 128 huruf k karena “melakukan kegiatan lain selain yang berkaitan dengan pemantauan pemilihan” juncto Pasal 187D UU Pilkada.
Pada tanggal 17 Juni 2025 lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Banjarbaru memutuskan Syarifah Hayana bersalah dan divonis pidana penjara 1 tahun dan pidana denda Rp36 juta subsider 1 bulan pidana kurungan.
Sumber: ANTARA
