HUKUM

Lukas Enembe Telepon KPK, ICW: Ultimatun, Jemput Paksa!

KABARKALIMANTAN1, Jayapura – Menepis tudingan melakukan obstruction of justice atau perintangan penyidikan, Gubernur Papua, Lukas Enembe, menelepon Direktur Penyidikan KPK, Kombes Asep Guntur, saat didatangi jajaran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di rumahnya, Jayapura, Rabu (28/9/2022).

Menurut penasihat hukum Lukas, Stefanus Roy Rening, di depan anggota Komnas HAM kliennya memberikan informasi kepada KPK terkait kondisi terkini kesehatannya.

“Itu sekaligus mengklarifikasi isu yang beredar, klien saya melakukan obstruction of justice atau perintangan penyidikan dalam kasus gratifikasi,” ujar Roy mengatakan dalam pertemuan itu hadir Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dan jajarannya.

“Dalam pertemuan itu ada pimpinan Komnas HAM Bapak Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komnas HAM, didampingi Bapak Choirul Anam, dan Bapak Beka Beka Ulung Hapsara, serta Bapak Fritz Ramandey, Komnas HAM Papua. Dialog antara ketua Komnas HAM dengan Gubernur berisi penjelasan situasi yang beliau hadapi selama ini dari tekanan-tekanan politik yang dihadapi.”

Menurut Roy, sikap Lukas tersebut menunjukan bahwa kliennya tidak ada tujuan untuk melakukan perintangan penyidikan. B dalam kondisi belum pulih pun Lukas tetap berkoordinasi dengan penyidik. “Kami tetap berkoordinasi dengan KPK. Jadi kalau ada isu-isu kita menghalang halangi penyidikan, itu tidak benar,” ujarnya.

Roy menyampaikan bahwa ketidakhadiran Lukas dalam pemanggilan pemeriksaan KPK murni karena alasan kesehatan. “Kami memberitahukan KPK, Bapak Lukas tidak bisa hadir karena sakit. Terlampir surat keterangan dokter pribadi dan RS di Singapura,” ucapnya.

Komnas HAM Tak Jawab

Hingga berita ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari Komnas HAM terkait kunjungan mereka ke rumah Lukas Enembe itu. Redaksi sudah menghubungi Taufan, Anam, dan Beka namun belum ada respons yang didapat. Di alam modern, komunikasi mestinya mudah, kecuali memang sengaja ada alasan lain.

Sebelumnya KPK menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi. Lukas sudah 2 kali dipanggil KPK, baik sebagai saksi maupun tersangka, tapi ia selalu mangkir.

Menanggapi mangkirnya Lukas, Indonesia Corruption Watch atau ICW mendesak KPK segera mengeluarkan ultimatum. “ICW mendesak KPK agar segera memberikan pesan ultimatum terkait penjemputan paksa kepada Gubernur Papua Lukas Enembe,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan.

Perundang-Undangan Indonesia memang membolehkan penjemputan paksa terhadap tersangka yang mangkir memenuhi pemanggilan untuk kelangsungan penyelidikan. Kendati tidak dilarang, istilah penjemputan atau pemanggilan paksa sebenarnya tidak tertera di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.

Dalam KUHAP, istilah penjemputan paksa disebut dengan “dihadirkan dengan paksa”. “Malah, jika dibutuhkan, bukan hanya penjemputan paksa, melainkan penangkapan, lalu penahanan,” imbuh Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, Rabu (28/9).

Kurnia juga meminta KPK untuk segera berkoordinasi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) guna memastikan kondisi kesehatan Lukas. “Namun, jika kondisinya sehat dan terbukti tidak sakit, KPK harus menjerat pihak-pihak yang memanipulasi kondisi kesehatan Lukas dengan Pasal 21 UU Tipikor terkait obstruction of justice,” kata Kurnia.

Giliran Judi, Sehat

Aktivitas judi Lukas di luar negeri terungkap melalui sejumlah foto yang dipublikasikan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI). Kuasa hukum Lukas, Aloysius Renwarin, mengakui kliennya bermain judi di luar negeri untuk mencari hiburan. Di situlah MAKI menyentil. Jika ke Singapura untuk main judi, Lukas sehat, bisa jalan, dan lancar bicara. Giliran dipanggil KPK, sakit dan tak bisa bicara.

“Santai-santai ketika dia sakit, cari refreshing, begitu. Ini sudah masuk hukum formal, berdasarkan kerja penyidik saja. Saya enggak mau teman-teman yang enggak ada urusan, enggak usah ngomong,” kata dia saat dimintai sentilan MAKI.

MAKI dan ICW mendorong pemerintah melakukan pemanggilan paksa. Dalam kasus kriminal lain, penganiayaan dan pemerkosaan terhadap santriwati, Polri mengerahkkan anggota Brimob sebanyak 3 kompi (300 orang) dengan 3 truk untuk menjemput paksa Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi (42), anak pengasuh Ponpes Shiddiqiyyah Jombang, KH Muhammad Mukhtar Mukthi.

 

Saat itu Mas Bechi “dilindungi” santri-santri pria. Polisi akhirnya berhasil meringkus Mas Bechi. Beberapa santri yang menghalangi penidikan, ditetapkan sebagai tersangka. Kasus ini bisa diterapkan pada Lukas Enembe, terlebih beberapa pemuda Papua kesal lantaran dia diduga memakai sebagian dana otsus dengan tidak sesuai peruntukannya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Most Popular

To Top