KABARKALIMANTAN1, Seoul – Jumlah korban tewas pada Pesta Halloween di distrik Itaewon, Korea Selatan, hingga Selasa (1/11/2022) malam dikonfirmasi bertambah jadi 156 orang.
Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, telah datang ke lokasi. Ia prihatin dan memohon maaf kepada keluarga korban. Presiden membawakan bunga, dan membaca pesan duka yang berjajar di lokasi.
Presiden juga mendeklarasikan masa berkabung nasional selama sepekan pasca tragedi di Itaewon pada Sabtu (29/10).
“Pemerintah akan mencanangkan periode hari ini hingga insiden ini terkendali sebagai masa berkabung nasional dan akan memprioritaskan terkait urusan administrasi untuk pemulihan dan langkah-langkah lanjutan,” ujar Yoon, seperti dikutip kantor berita Yonhap.
Kejadian itu bermula saat semakin banyak orang memadati jalan yang menanjak. Kemudian ada orang yang jatuh dan menimpa massa di bawah.
Orang-orang kemudian panik dan para pengunjung saling injak. Petugas lalu berusaha keras menarik beberapa orang keluar dari kerumunan. Namun, puluhan orang sudah terkapar dan mengalami henti jantung.
Kerumunan di Korea Selatan dalam jumlah besar bukan kali pertama. Pada 2017 lalu, sekitar 200 ribu orang hadir untuk merayakan festival Halloween. Saat itu, acara berjalan lancar dan tak ada korban jiwa.
Dua dekade sebelumnya yakni pada 2002, jutaan orang mengenakan kaus merah membanjiri jalan-jalan. Mereka menyemangati tim nasional Korsel yang bertanding di Piala Dunia. Di kerumunan ini, juga tak ada korban tewas.
Pakar manajemen keamanan kerumunan yang berbasis di Inggris, Steve Allen, mengatakan nihil rencana manajemen kerumunan menjadi alasan utama tragedi itu.
“Saya tak melihat polisi di salah satu rekaman, saya juga tak melihat bentuk manajemen kerumunan,” kata Allen kepada Korea Times, Senin (31/10).
Ia juga menyebut distrik itu merupakan destinasi populer, Allen juga meyakini Halloween ini merupakan pertama sejak aturan jarak sosial dicabut, sehingga dengan sendirinya meningkatkan risiko kerumunan.
“Arus kerumunan dua arah, jalan-jalan sempit, volume kerumunan tanpa kontrol adalah faktor yang menonjol pada tahap ini,” ujar dia.
Menurut laporan, polisi Korea Selatan mengerahkan 137 personel ke Itaewon pada Sabtu lalu. Mereka tak mengira kerumunan akan sebesar itu.
Tak seperti aksi unjuk rasa, demonstrasi atau festival yang biasanya diorganisir lalu dilaporkan kepada pihak berwenang sebelumnya, polisi tak memperkirakan pertemuan massal malam itu.
Namun, Allen tetap meyakini bahwa beberapa bencana kerumunan bisa diprediksi dan dicegah.
Lebih jauh, ia menerangkan langkah utama mencegah bencana kerumunan adalah pemantauan efektif dari personel kompeten, memiliki staf khusus manajemen kerumunan dan berbagi informasi awal dari berbagai metode termasuk media sosial.
Personel Minim
Senada dengan Allen, pengamat bencana di Universitas Seoul, Lee Young Joo, menunjukkan tak ada kontrol polisi dalam festival tak terorganisir itu.
“Seperti bencana lain, kerumunan massa juga sangat sulit diprediksi. Namun, sangat disayangkan pihak berwenang mengerahkan jumlah personel yang minim di lokasi, meski sadar perayaan halloween ini tanpa masker sejak pandemi COvid-19,” ujar Lee.
Lee juga mengatakan dalam kerumunan, individu akan mengalami tekanan yang tak henti-hentinya dari semua sisi dan tekanan terus meningkat secara bertahap.
“Jadi saat individu menyadari mereka tak bisa bergerak atau melarikan diri, mungkin sudah terlambat,” imbuh dia,
Akademisi itu juga menyoroti lokasi kerumunan yang sempit untuk jumlah yang pengunjung hingga ratusan ribu.
Lee menilai jalan selebar 3,2 meter dengan kemiringan 10 derajat tampaknya memperburuk bagi mereka yang berjalan di area itu.
“Karena mereka tersumbat di gang miring, beberapa orang tampaknya tersandung orang lain yang berdiri di depan mereka, mengakibatkan efek domino,” ujar Lee lagi.
Baru-baru ini, Kepala Polisi Korea Selatan, Yoon Hee Keun, mengakui pengendalian massa dalam festival Halloween di Itaewon tak cukup memadai.
Yoon mengatakan petugas tak mampu menangani kerumunan meski menerima banyak laporan darurat jelang tragedi tersebut.
“Polisi mengetahui ada kerumunan besar bahkan sebelum insiden itu terjadi,yang menunjukkan bahaya,” kata Yoon kepada AFP, Selasa (1/11).
Namun, ia mengatakan cara mereka menangani informasi itu tak cukup memadai.
