KABARKALIMANTAN1, Jakarta – Upaya hukum Kepala Staf Presiden (KSP), Moeldoko untuk mengambil-alih Partai Demokrat beberapa kali kandas. Baik di Pengadilan Tinggi TUN DKI Jakarta, maupun di Mahkamah Agung (MA). Kini Moeldoko mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan masih dalam proses untuk diadili MA.
Tak ayal aksi Moeldoko kian dikaitkan dengan upaya memindahkan kepemilikan Partai Demokrat, dengan tujuan agar Anies Baswedan tak dapat kendaraan untuk maju sebagai Capres pada Pilpres 2023.
Jika Demokrat dikuasai Moeldoko, suara akan lari ke Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto yang di-endorse secara terang-terangan oleh Presiden Joko Widodo.
Sekalipun analisis publik itu sangat masuk akal, Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Faldo Maldini, menegaskan pemerintah telah telah menolak mengesahkan kepengurusan Partai Demokrat kubu Moeldoko versi KLB Deli Serdang.
“Kalau kita runut ya, sebenarnya kan sikap pemerintah melalui Menkumham sudah keluar. Yang digugat oleh Pak Moeldoko adalah SK yang dikeluarkan Menkumham. Jadi sikap pemerintah, ya udah enggak,” kata Faldo, Senin (5/6/2023) malam.
Terkait langkah Moeldoko yang mengajukan PK ke MA, Faldo mengatakan, “Itu adalah hak Pak Moeldoko sebagai warga negara. Langkah hukumnya tidak mungkin diintervensi. Dia kan punya hak juga untuk mempertanyakan.”
Pada kesempatan itu, Faldo juga merespons permintaan dari Partai Demokrat kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang meminta Presiden Jokowi untuk mengganti Moeldoko karena terlibat pengambilalihan partai.
“Soal reshuffle, itu merupakan hak prerogatif Jokowi selaku presiden. Presiden yang paling tahu timnya, untuk menghadapi tantangan. Kami kira Presiden tidak ikut campur untuk intervensi hukum dan sebagainya,” lanjut Faldo.
Upaya pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat yang melibatkan Moeldoko diawali konferensi pers yang digelar AHY pada 1 Februari 2021. Setelah itu, KLB “Partai Demokrat” di Deli Serdang menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum pada 5 Maret 2021.
Merespons hasil KLB, Menkumham Yasonna H Laoly mengumumkan pemerintah menolak permohonan pengesahan kepengurusan Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang pada akhir Maret 2021.
“Dari hasil verifikasi, terdapat beberapa dokumen yang belum dilengkapi, antara lain dari perwakilan DPD, DPC serta tidak adanya mandat dari Ketua DPD dan DPC,” kata Yasonna.
Setelah itu, berbagai gugatan dan upaya hukum pun dilayangkan kubu Moeldoko untuk mendapatkan legalitas. Namun, berulang kali ditolak pengadilan.
Terpisah, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menganggap aneh ketika keputusan Menkumham digugat Kepala Staf Presiden (KSP) ke pengadilan.
“Keduanya sama-sama di pemerintahan, aneh secara ketatanegaraan. Itu aneh bin ajaib, dan presiden diam, kan ini anak buah dia,” kata Denny, Senin (5/6).
Reshuffle Moeldoko
Menyikapi hal itu, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Jansen Sitindaon mengatakan jika Presiden Jokowi ingin cawe-cawe secara positif, dia seharusnya mencopot Moeldoko dari KSP.
Jansen awalnya menyinggung pernyataan Deputi bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, yang menjelaskan maksud pernyataan cawe-cawe Jokowi beberapa waktu lalu.
“Saya baca rilis Bey Machmudin, yang menjelaskan makna cawe-cawe Pak Jokowi di Pilpres. Pertama pemilu besok demokratis, jujur dan adil. Kedua, ingin cawe-cawe agar tidak ada polarisasi. Ketiga, ingin cawe-cawe agar TNI, Polri, ASN itu tidak berpolitik praktis, netral,” kata Jansen.
“Saya katakan, soal ini semua sudah ada di undang-undang, bahkan jika pun presiden tidak cawe-cawe, ini semua sudah ada di undang-undang,” imbuh dia.
Namun, jika memang ingin cawe-cawe secara positif, Jansen menantang Jokowi, “Gunakan wewenang dengan melakukan reshuffle kabinet, mengganti Moeldoko. Dia merusak demokrasi.”
Ia mengatakan Moeldoko tidak pernah menjadi kader Demokrat. Menurutnya, menjadi Ketua Partai Demokrat tingkat cabang pun Moeldoko tidak bisa, apalagi menjadi Ketua Umum.
Sumber redaksi di lingkar Jokowi pernah menyebut, ia pernah ditawari posisi menteri, tapi menolak. Lain soal jika ditawari jadi KSP pada saat ini, mungkin saya terima. Peluang itu ada.
“Benar kalau mengisi posisi KSP, saya bisa terima. Kemarin itu sempat dibahas, meski saya sangsi presiden bikin gaduh di tim sendiri. Kalau saya nggak jadi KSP di era sekarang, ya di era Pak Ganar Pranowo nanti, kalau beliau menang,” ujar sumber tersebut, awal Mei 2023.