KABARKALIMANTAN1, Jakarta – Salah satu alasan PDIP kukuh mendorong sistem proporsional tertutup ketimbang proporsional terbuka untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. adalah besarnya biaya politik yang harus dikeluarkan.
Hal itu disambut Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto di Jakarta kemarin.
“Seorang calon anggota legislatif (caleg) bahkan bisa menghabiskan biaya minimal Rp5-100 miliar agar bisa menjadi anggota dewan. Itu mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan para ahli, salah satunya Politisi Senior PDIP Pramono Agung,” kata Hasto.
“Dengan proporsional terbuka, ketika kami menawarkan kepada para ahli untuk membangun Indonesia melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, banyak yang mengatakan tidak sanggup biayanya.”
Oleh sebab itu, ujar Hasto, terjadi kecenderungan di mana struktur anggota dewan banyak didominasi para pengusaha. Menurut Hasto sistem pemilu yang ada di Indonesia saat ini, meniru sistem demokrasi di negera barat seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris.
Sayangnya, lanjut Hasto, saat ini justru AS, negara yang kerap dianggap ikonnya demokrasi tengah mengalami krisis. Bahkan kesulitan saat akan memilih Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kendati demikian, Hasto menyadari partainya tak punya kedudukan hukum untuk memutuskan wacana penerapan sistem proporsional terbuka untuk Pemilu 2024. Dia menyebut PDIP menyerahkan judicial review sistem proporsional tertutup kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
“Masalah nanti apapun yang diputuskan MK, kami sekali lagi PDI Perjuangan bukan pihak yang punya legal standing melakukan Judicial Review,” ucap Hasto di Jakarta.
Soal pertemuan para petinggi parpol, menurutnya itu bagus dan biasa dalam politik. “Pertemuan di Hotel Dharmawangsa ya itu kita hormati sebagai bagian dalam tradisi demokrasi kita.”
Lebih lanjut, Hasto tak menjawab lugas saat ditanyai apakah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri ikut diajak dalam pertemuan ketua umum dan petinggi parpol itu.
“Ya kita kan baru mempersiapkan hari ulang tahun PDIP. Semuanya sibuk hari ini aja ada 5 agenda dalam rangka HUT partai ke-50,” jelas Hasto.
Diketahui, 8 ketua umum dan pimpinan partai politik parlemen berkumpul hari, Minggu (8/1/2023) untuk menyatakan sikap menolak sistem proporsional tertutup. Narasi PDIP soal biaya, dibantah disini.
Dalam pertemuan tersebut, baik ketua umum maupun perwakilan Gerindra tidak hadir, namun sepakat soal menolak sistem pemilu proporsional tertutup.
Ketum Gerindra, Prabowo Subianto sendiri yang memastikan hal itu. Begitu pula Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketum Demokrat. “Pemilu proporsional tertutup itu sama seperti merampas hak rakyat,” katanya.
Dalam cara tertutup (coblos partai, bukan Caleg), parpol akan leluasa memilih anggota dewan walau tak populer atau kurang dipilih rakyat. Tapi narasi yang diungkap PDIP justru sebaliknya.
Wakil Ketua Umum Nasdem Ahmad Ali menyatakan yang sistem pemilu merupakan ranah parpol, bukan MK apalagi KPU.
“Salah satu yang ingin dibicarakan, satu soal masalahnya pernyataan Ketua KPU tentang proporsional terbuka. Itu domain parpol, bukan domain MK mestinya,” kata Ahmad Ali di Hotel Dharmawangsa, Minggu.
Preseden Buruk
Partai Golkar menjadi inisiator 8 partai di parlemen ‘berkoalisi’ menolak pemilu sistem proporsional tertutup atau coblos gambar partai. Partai Golkar meyakini Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan tetap menggunakan sistem proporsional terbuka atau coblos nama calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2024.
“Kami meyakini bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan konsisten dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008 tentang sistem proporsional terbuka,” kata Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily kepada wartawan, Senin (9/1/2023).
Partai Golkar berpendapat jika MK memutuskan sistem proporsional tertutup, yang saat ini gugatannya masih disidangkan, maka akan menjadi contoh buruk. Sebab, MK mengubah putusan yang pokok perkaranya sama sebelumnya.
“Jika MK mengabulkan gugatan kembali ke proporsional tertutup, maka akan menjadi yurisprudensi dan menjadi preseden yang buruk serta tidak sejalan dengan asas Ne Bis In Idem,” kata Ace Hasan.
“Ne Bis In Idem adalah perkara dengan obyek, para pihak dan materi pokok perkara yang sama, diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap baik mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya,” imbuhnya.
Delapan partai politik di parlemen sebelumnya menggelar pertemuan dan sepakat menolak sistem proporsional tertutup di Pemilu 2024. Mahkamah Konstitusi mengatakan saat ini proses persidangan masih berjalan.
“Selasa besok, baru sidang ketiga,” kata Jubir MK, Fajar Laksono, saat dihubungi, Minggu (8/1/2023).
Terkait berapa lama MK akan memberikan putusan gugatan judicial review (JR), Fajar mengatakan hal ini tergantung pada dinamika yang terjadi di persidangan. Ia meminta agar semua menunggu dan mengikuti proses tersebut.
“Berapa lama lagi sampe putusan? Tergantung dinamika persidangan, kita ikuti saja,” tuturnya.
Fajar mengatakan MK saat ini fokus dalam persidangan. Terlebih kata Fajar, persidangan akan kembali digelar dengan agenda keterangan DPR hingga Presiden.
“Sidang Pleno perkara dimaksud digelar lagi besok Selasa, 17 Januari 2023 pukul 11.00 WIB, dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, Presiden, dan pihak terkait,” sambungnya.
