KABAR KALIMANTAN1, Sampit – Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah, mengevaluasi Peraturan Daerah (Perda) Kotim Nomor 5 Tahun 2004 tentang Penanganan Penduduk Dampak Konflik Etnik untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman maupun daerah.
“Perda ini sudah cukup lama, sudah 20 tahun, dan hanya mengatur suku tertentu. Padahal, Kotim adalah wadah untuk banyak suku dan etnis,” kata Kepala Badan Kesbangpol Kotim Sanggul Lumban Gaol di Sampit, Kamis (16/5).
Dalam evaluasi Perda Kotim Nomor 5 Tahun 2004 ini, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kotim melibatkan Bapemperda DPRD Kotim, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, disdukcapil, dan Bagian Hukum Setda Kotim.
Kotim saat ini ditempati oleh beragam suku, etnis, maupun kelompok masyarakat. Hal ini, kata Sanggul, dianggap sebagai kekuatan untuk bisa bersama-sama membangun daerah.
“Namun, seiring dengan itu mobilitas masyarakat makin tinggi, sentuhan dan gesekan antarmasyarakat juga tinggi. Hal-hal yang dapat mengganggu kondusivitas daerah,” ucapnya.
Badan Kesbangpol Kotim terus berupaya menjaga keberagaman dan kebersamaan serta menciptakan situasi kondusif guna mendukung kelancaran pembangunan daerah, salah satunya melalui evaluasi perda agar diberlakukan secara menyeluruh, sekaligus sebagai warisan bagi generasi yang akan datang agar mengetahui latar belakang penyusunan perda tersebut.
Sanggul berharap perda ini dapat menjembatani ketika terjadi permasalahan di lapangan, baik terkait dunia usaha, pekerjaan, kenakalan remaja, maupun lainnya.
“Mudah-mudahan ini bisa disambut dengan baik oleh seluruh warga Kotim dan menjadi suatu karya terindah kami dalam membina kebinekaan di Kotim,” katanya.
Dalam rapat evaluasi ini, pihaknya akan membentuk tim teknis dari tokoh masyarakat yang mengutamakan masyarakat asli setempat, yakni Dewan Adat Daya (DAD) dan Lembaga Musyawarah Dayak Daerah Kalimantan Tengah (LMDDKT) Kotim.
Hal ini sejalan dengan peribahasa yang dipegang masyarakat setempat, yakni bumi dipijak di situ langit dijunjung.
Ia juga mengharapkan DAD dan LMDDKT bisa mengakomodasi seluruh keinginan dan kepentingan masyarakat suku di Kotim.
DAD dan LMDDKT juga berperan besar dalam membuat program ke masyarakat luas. Misalnya, memberikan pemahaman terkait dengan Belum Bahadat, filosofi masyarakat Dayak kepada masyarakat dari suku lain yang datang ke Kotim.
“Kalau berhasil dan perda ini diterima serta diterapkan seluruh masyarakat, Kotim bisa menjadi Bali kedua. Di daerah ini peran tokoh adat dan tokoh masyarakat sangat penting,” katanya.
Sementara itu, Ketua LMDDKT Kotim Burhanuddin mengatakan bahwa pembuatan Perda Kotim Nomor 5 Tahun 2004 berdasarkan konflik antar-etnis yang pernah terjadi di Sampit pada tahun 2001.
Perda yang sudah cukup tua ini, menurut dia, perlu dievaluasi untuk menentukan masih sesuai atau tidak dengan kondisi saat ini.
Oleh sebab itu, dengan mengumpulkan seluruh tokoh adat dan tokoh masyarakat, dia berharap bisa mendapat masukan dan menyamakan pandangan.
“Kami ingin mendengar pendapat saudara-saudara kita dari seberang supaya perda yang tadinya hanya untuk satu etnik nantinya bisa diberlakukan secara keseluruhan supaya daerah ini damai, nyaman, dan berkembang,” ucap pensiunan ASN ini.
Dari LMDDKT, kata dia, ada satu saran yang diharapkan menjadi pertimbangan dalam evaluasi perda tersebut, yakni tentang penataan aset dan lainnya yang telah ditata oleh pemerintah daerah.
Ia berharap penataan tersebut tidak hanya berlaku bagi masyarakat suku Dayak, tetapi semua suku yang ada di Kotim. Di samping itu, pihaknya juga mengutamakan pencegahan konflik agar Kotim selalu damai.
Sumber: ANTARA