KABARKALIMANTAN1, Jakarta – Esensi pemilihan presiden (pilpres) yang digelar 5 tahun sekali, bukan untuk melanjutkan kebijakan pemerintahan sebelumnya. Beberapa tokoh secara terpisah menyampaikan pendapat serupa.
Pandangan itu disampaikan Bakal Calon Presiden dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Baswedan. Hal sama diungkapkan pengamat masalah sosial M. Subeki. Lebih keras lagi, Subeki malah memberi contoh konkret soal konsep politik Nasakom-nya Bung Karno, yang tak diteruskan Presiden Soeharto.
Anies sendiri menyampaikan hal itu dalam acara Bimbingan Teknis dan Konsolidasi Nasional Fraksi PKS dan Pimpinan DPRD se-Indonesia di Hotel Millenium, Jakarta, Selasa (30/5/2023). Menurutnya, esensi pilpres untuk mencapai tujuan bernegara.
“Esensi pemilihan 5 tahunan ini, bukan soal meneruskan atau tidak meneruskan kebijakan kemarin. Ini soal mencapai tujuan bernegara. Jadi pertanyaaanya bukan mau meneruskan atau tidak?” kata dia.
Dia mengatakan, pemenuhan janji kemerdekaan harus menjadi pegangan setiap orang yang mengikuti pilpres. “Jadi saat 5 tahun sekali itu, kita menengok ke belakang, apakah sudah sama tujuan bernegaranya? Kalau belum, kita luruskan. Karena itu, pesannya meluruskan jalan menghadirkan keadilan,” ucapnya.
Anies mengibaratkan pemilihan presiden seperti kelompok regu yang berjalan untuk mencapai tujuan. Dalam kelompok itu ada satu ketua regu membawa kompas dan memimpin.
Menurut Anies, ketua regu tersebut akan digantikan ketua regu selanjutnya dalam memimpin kelompok, hingga tujuannya tercapai. “Nanti ada regu berikutnya dan kompasnya gantian mereka pegang. Kekuasaan ada di tangan rakyat, bukan di pemegang kewenangan,” tuturnya.
Ia pun mengingatkan orang yang saat ini bertugas tak perlu khawatir, karena tugas mereka akan selesai setelah 5 tahun. “Jadi, bagi yang sekarang sedang bertugas, jangan pernah khawatirTugasnya memang akan selesai. Itu memang proses 5 tahunan,” ujar Anies.
Contoh Keras
Duhubungi redaksi via telepon Rabu (31/5) pagi, Subeki sengaja mengambil contoh keras berupa kebijakan presiden lama, yang tak diteruskan presiden terpilih selanjutnya.
“Kebijakan itu tak selalu soal pembangunan fisik, tapi juga ideologi, konsep politik, dan lain-lain. Di era Bung Karno yang dikenal dengan konsep politik Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme-Red), itu distop Presiden Soeharto, karena berbahaya. Tidak mungkin nasionalisme dan agama bersatu dengan paham komunis,” ujar Subeki.
Soal kebijakan bersifat fisik pun dikritisi Subeki. Misalnya, Ibu Kota Negara (IKN) dan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang ternyata tidak sampai kota Bandung. Proyek ini lekat dengan nama Jokowi dan Menteri Marvest, Luhut Binsar Pandjaitan.
“Terparah dari KCJB hasil kerjasama rezim Jokowi-Cina yang katanya berkonsep B to B atau bisnis tapi akhirnya nyedot APBN itu, berpotensi rugi karena tarif bakal mahal. Orang nggak mau naik. Finisnya jauh di luar kota Bandung. Biaya perawatan tinggi. Terus, mau dilanjutkan?” sentilnya.
“Jangan salahkan pakar dan rakyat yang lantas berpikir, Jokowi ingin presiden penggantinya kelak tak mengusut kerugian negara di IKN berbiaya Rp400 tiliun lebih karena KCJB berbiaya Rp118 triliun lebih. Duit Rp100 triliun bisa untuk infrastruktur lain. Setara biaya investasi pembangunan jalan Tol Trans Sumatera sepanjang 1.081 kilometer.”
Data yang dirilis Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Juri Ardiantoro memang menyebutkan proyek pembangunan IKN di Kalimantan Timur membutuhkan anggaran Rp466 triliun, sedang KCJB Rp118 triliun.
Ketua Institut Studi Transportasi Darmaningtyas, mengatakan, “Negara-negara lain biasanya membangun kereta berkecepatan tinggi mesti terintegrasi dengan masalah mobilitas. Di KCJB waktu tempuh hanya 37 menit tapi realitanya tidak demikian.”
“Turunnya di Padalarang, jauh dari Bandung. Tak ada moda transportasi pendukung yang juga cepat. Jadi sama saja, waktu tempuh Jakarta-Bandung naik mobil lewat jalan tol, sama dengan naik KCJB.”
JK: Tak Harus Teruskan
Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) juga memberi contoh kebijakan yang tak perlu dilanjutkan, seperti subsidi yang dilakukan pemerintah untuk mobil listrik. Menurut dia, sebaiknya kebijakan itu tak dilanjutkan di masa mendatang.
“Pemerintah seharusnya mengurangi dampak subsidi yang tidak perlu,” kata dia dalam sesi Nation Hub CNBC, Kamis (18/5).
Ia melanjutkan bahwa subsidi sebaiknya diberikan kepada masyarakat yang tidak mampu dan benar-benar membutuhkan. JK dan Ia dan Anies memang rajin mengkritisi subsidi untuk harga mobil listrik, padahal para pembeli mobil listrik notabene adalah orang-orang kaya.
“Mereka membeli mobil listrik dengan subsidi, tapi tetap punya mobil konvensional di garasinya. Subsidi lebih tepat untuk rakyat pemakai sepeda motor, atau bahkan yang belum mampu membeli sepeda motor,” imbuh Anies.