KABARKALIMANTAN1, Moskow – Ditekan sanksi ekonomi Barat pascainvasi ke Ukraina, mata uang rubel Rusia mencapai level tertinggi. Rubel menghajar euro dan dolar Amerika Serikat (AS) dalam 3 pekan terakhir!
Tercatat pada Selasa (14/6/2022) pukul 21:15 WIB, rubel terpantau menguat meskipun bayangan krisis ekonomi semakin nyata.
Mata uang negara yang dipimpin Presiden Vladimir Putin itu menguat menguat 1,8% terhadap euro di RUB 59,03/EUR. Sedangkan terhadap dolar AS, rubel mencatatkan penguatan 0,4% di RUB 56,54/US$.
Sejak serangan Rusia ke Ukraina, banyak juga gejolak yang dirasakan oleh pihak Rusia. Di sisi lain, ada pula dampak positifnya yakni menguatnya rubel Rusia terhadap dolar AS yang membuat rubel menjadi jadi mata uang terkuat.
Setelah rubel menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia, otoritas Negeri Beruang Merah melonggarkan kontrol arus modal (capital control) dan menghapus persyaratan bagi perusahaan yang berfokus pada ekspor untuk mengubah pendapatan mata uang asing mereka.
Keputusan bank sentral untuk memangkas suku bunga utamanya ke level sebelum krisis 9,5% minggu lalu juga dirancang untuk mengurangi tekanan sisi atas pada rubel.
Kuatnya rubel berujung mengurangi pendapatan eksportir namun bermanfaat bagi importir, hal ini membuat barang dan jasa asing menjadi lebih murah. Namun, impor Rusia telah berkurang secara drastis karena sanksi Barat yang belum pernah terjadi sebelumnya serta terganggunya rantai logistik.
“Penjualan valuta asing yang lebih tinggi oleh eksportir untuk memenuhi kewajiban pajak domestik mendorong rubel untuk tetap berdiri tegak di tengah krisis ekonomi di berbagai belahan dunia,” kata Analis Sberbank CIB, Yuri Popov.
Sebelumnya, Bank sentral Rusia (Central Bank of Rusia/CBR) juga menaikkan suku bunga menjadi 20% dari sebelumnya 9,5% di awal Maret lalu menjadi salah satu penyebab penguatan rubel.
Selain itu, pemerintah Rusia juga meminta minyak bumi dan gas yang dibeli beberapa negara khususnya Eropa dibayar dengan rubel.
Yang paling penting, Presiden Rusia Vladimir Putin menerapkan kebijakan capital control. Itu memberikan dampak yang besar terhadap penguatan rubel. Kebijakan tersebut mewajibkan perusahaan Rusia mengkonversi 80% valuta asingnya menjadi rubel.
Tapi analis juga memperkirakan bahwa penguatan rubel tersebut dikatakan semu akibat berbagai kebijakan yang diterapkan tersebut. Ke depannya rubel diperkirakan bisa kembali terpuruk. Alasannya, tidak ada orang yang ingin membeli rubel kecuali terpaksa.
Malah Kuatir
Meski rubel makin perkasa, Wakil Perdana Menteri Pertama Rusia Andrei Belousov justru kuatir. “Rubel terlalu tinggi dan industri, akan lebih nyaman jika nilainya jatuh ke antara 70-80/US$ dari kisaran 57/US$ saat ini,” ujar Belousov.
Ia mengatakan, inflasi Rusia secara tahunan pada akhir 2022 akan berada di sekitar 15%. Adapun pada 10 Juni, inflasi mencapai 16,69%.
Mata uang tetap mendekati level tertinggi dalam beberapa tahun berkat lonjakan surplus transaksi berjalan Rusia dan kontrol modal yang diperkenalkan Moskow, menyusul pengenaan sejumlah sanksi oleh negara-negara Barat.
“Rubel kami terlalu kuat. 55-60 rubel per dolar terlalu kuat, terutama dengan latar belakang deflasi dan suku bunga tinggi. Idealnya di angka 79-80,” kata Belousov kepada kantor berita Rusia, TASS, dikutip Reuters, Kamis (16/6/2022).
